Ketika kendaraan itu tiba-tiba mogok, aku begitu ketakukan. Kalut. Tidak tau, tidak yakin apakah aku akan bisa melanjutkan perjalanan. Aku tak bisa membayangkan akan kah ada sebuah kendaraan lain yang sama persis bentuknya. Motor baru saja punya nomor polisi berbeda. Bagaimana mungkin ada sebuah kendaraan lain yang sama persis. Tidak mungkin.
Kukira, aku harus sebentar mogok dan rehat. Tapi aku tetap berpikir. Harus meneruskan rancangan. Memperbaharui pernis-pernis yang mengelupas karena waktu. Menunggu hati diperbaiki, bolehlah aku memetik beberapa melon yang tidak terlalu berasa tapi cukup menghilangkan dahaga ini. Di sana sebuah kota sudah menunggu. Aku melihat beberapa menara yang menjadi landmarknya. Begitu cantik. Gerbangnya selalu terbuka. Tapi untuk masuk butuh karcis juga. Beberapa karcis yang harus kukumpulkan sepanjang perjalanan ini. Beberapa mobil ‘hanya untuk berdua’ lewat. Dan aku bisa apa? Kecuali tersenyum dan melambai, dan pahit. Kendaraanku..., em, aku tak ingin mengatakannya ‘rusak’, tapi ia harus berhenti sejenak. Dan supirnya berhenti, mengatakan bahwa, bahwa... dia tidak cocok dengan persnelling, rem yang tidak pas, klakson yang tiba2 mati, lampu sen yang kadang-kadang tidak nyala, dan satu lagi, katanya warnanya norak..:D Aku bisa apa?
Mulanya aku ingin marah. Bahkan mungkin aku sudah marah. Mulanya aku kecewa, dan sekarang pun masih ada sakit itu. Mulanya aku tak bisa menerima, dan hingga sekarang pun aku belum yakin telah rela. Mengapa kendaraan ini harus rusak? Mengapa supir terbaik pilihanku harus..., harus meninggalkanku? Adalah pertanyaan-pertanyaan yang masih berteriak sekalipun di hadapan jawaban-jawaban yang telah pasti dan takkan berubah lagi.
Baiklah, mari kita ke bengkel terdekat. Aku perlu bertanya pada pak montir, perlukah aku mengganti oli..., eh maksudku mengganti sekalian kendaraanku??! Hmm, siapa tau? Di tengah jalan begini, mana ada yang jual suku cadang. Kalau ada pun, khawatirnya palsu. Begitulah...
Barangkali cuaca akan sedikit mengaburkan kota tujuan. Tapi itu tidak boleh berubah. Dan aku sendiri tidak tau, bisakah menuju kesana dengan kekuatan yang sama persis. Dengan semangat yang sama geloranya seperti dulu.
Pak montir memberi kabar, tidak ada supir sewaan dalam rentang dekat ini. Katanya aku harus mengemudikan kendaraan ini sendiri, untuk sementara. Lalu kukatakan, “kalau begitu, modifikasi saja kursinya yang sepasang jadi satu saja!”. Lalu dia tersenyum, dan mengatakan “Jangan begitu. Di sepanjang jalan akan banyak musafir. Mereka bisa siapa saja. Dan mereka sering butuh tumpangan. Mungkin ukuran jok ini tidak cocok untuk mereka. Tapi mereka akan nyaman jika kamu ikhlas. Dan yakinlah, pada kilometer yang tepat akan ada supir yang ditawarkan”.
“Tapi... sepertinya aku tidak bisa berbagi. Aku banyak bawaan. Banyak beban” sahutku tanpa bisa lagi menyembunyikan raut kesalku.
“Oya? Begitu ya? Kukira, kamu perlu melihat lagi beban bawaanmu. Kalau ada yang tidak perlu dibawa, tinggalkan saja di sana” dia menunjuk sebukit “yang entah apa”. Aku memicingkan mata, dan mencoba menangkap beberapa benda yang menumpuk membukit. Warna-warna mencolok dan tidak sedap di hati.
“Mereka yang sudah lewat banyak juga yang membuang beban di sana” dia diam, aku juga.
“Tapi engkau mungkin harus sedikit membayar” lanjutnya. Aku terkejut. Aku tidak punya banyak uang. Lagi pula, tidak masuk akal. Mengapa aku haru membayar untuk sesuatu milikku yang ingin kubuang. Sesuatu yang menurutku amat berharga. “Dunia apa ini?” batinku.
“Karena kami butuh ongkos untuk mendaurnya kembali. Dan mengembalikannya padamu pada kilometer yang tidak bisa kami janjikan sebagai bawaan yang lebih baik dan lebih bermanfaat” sambungnya, seperti sengaja menjawab tanya dalam hatiku.
Ragu-ragu, aku menuju kendaraanku. Dan aku serta merta menemukan beberapa warna yang hampir serupa dengan sejumlah warna di bukit “benda yang entah apa” itu. Ku comot satu-satu. Aku mengangkat tinggi-tinggi hingga aromanya, baru kusadari, begitu menusuk. “Menurutmu..., ini semua harus kubuang kesana?!” tanyaku pada pak montir itu.
“Sebaiknya begitu. Tapi tidak selalu harus begitu” jawabnya sambil menyentuh satu persatu bebanku.
“Semakin banyak yang engkau buang, semakin mahal bayarannya” dia menatapku dengan pandangan khawatir, dan aku mengalihkan mata pada bawaan warna-warni di tanganku.
“Tapi engkau bisa mencicil” sambungnya sambil tersenyum.
“Mencicil??! Gila, pikirku. “Dengan apa??!” sambungku cepat.
“Dengan infak, sedekah, ikhlas, itsar, qanaah, yang setingkat dengannya, atau yang lebih mahal...” jawabnya.
Aku menelan ludah. Aku baru sadar, tidak punya tabungan sebanyak itu.
“Tak usah khawatir, Engkau bisa mencicil sepanjang perjalanan” sahut pak montir.
“Tapi..., aku tidak tahu sepanjang apa perjalananku... bagaimana?” tanyaku.
“Yang penting Engkau terus berusaha melunasinya, begitu” jawabnya, masih di atas raut wajahnya yang teduh namun tegas.
Aku menghentakkan kepala. Mengerjapkan mata. Apakah mungkin membuang semuanya sekalian. Selain merasa masih butuh, juga sepertinya aku tidak punya cukup tabungan untuk membayar. Kesedihan, kekecewaan, kemarahan, rasa dikhianati, dan beberapa lainnya yang baunya mulai terasa menyengat di hidungku. Apakah harus kubuang semuanya??!
“Aku ingin membuang semuanya, tapi... sepertinya sulit sekali..., sulit sekali bagiku...” kataku kembali menatapnya.
“Engkau benar. Jika membuang itu semua begitu gampang, bukit itu sudah menggunung dan bengkel-bengkel berikutnya tidak lagi dibutuhkan...” katanya setengah tertawa.
“Buanglah sebagian, sisakan yang berat untuk kau tinggalkan. Dan pastikan Engkau cukup peka menciium baunya yang busuk dan membuangnya di bengkel berikutnya, ya!” sambungnya.
Brrrm.. brrrmm.. Suara sebuah kendaraan tidak jauh dari bengkel mengalihkan perhatianku dan pak montir. Sebuah kendaraan cantik, bukan selera semua orang, tapi setiap yang melihat pasti akan mengatakan itu indah. Dihiasi beberapa karangan bunga di sana sini. Pita-pita warna-warni. Beruntungnya.
Oh! Aku terkejut begitu kaca filmnya terbuka. Ada seorang supir di dalamnya. Dia tersenyum dan melambai kepadaku. Aku tidak bisa membalasnya, tanganku kaku. Aku juga tidak tau entah apa yang berkecamuk di pikiranku hingga aku tidak kuasa membalas senyum hangat itu.
Aku masih tercengang. Dan aku tau pak montir mengalihkan pandangan dari kendaraan itu dan beralih menatapaku.
“Suatu saat Engkau akan memilikinya. InsyaAllah!” katanya sambil menepuk bahuku. Tepukan yang menyadarkan bahwa aku masih menenteng beberapa bawaan yang niat kubuang.
“Ayo, aku temani kamu membuang semuanya” aku memutar tubuh dengan berat dan serta merta aku mengikutinya di belakang.
Aku berada di depan bukit “benda yang entah apa”.
“Lemparkan kuat-kuat bawaanmu itu!” pinta pak montir.
“Sekarang?” tanyaku berat.
“Iya, lakukanlah. Engkau tidak akan tau sejauh apa dan di mana bengkel berikutnya... “
“Tapi..., kukira aku bisa menemukannya sepanjang jalan...” bantahku.
“Memang, yang seperti itu banyak. Tapi mereka menjual suku cadang palsu. Premium yang dicampur. Perawatan yang tidak prima. Murah, tapi menipu” jawabnya.
Pipiku tiba-tiba terasa hangat dalam hujan yang gerimis dan angin yang dingin. Ternyata dua bulir air mata mengalir.
“Jadi aku harus membuangnya...?” tanyaku lagi meyakinkan. Pak montir itu tidak lagi menjawab. Aku semakin sesegukan dan air mata semakin deras. Kepalaku serasa hampir pecah dan darahku mendidih. Sekujur tubuhku terasa sakit seperti satu persatu buluku dicabut. Aku menutup mata dan mangatup rahangku kuat-kuat. Air mata itu masih mengalir dan aku merasa begitu tak berdaya seperti puasa dan tidak pernah berbuka. Kubiarkan saja air mata itu mengalir, sekalipun aku tau takkan habis sedih itu hari ini.
Ku buka mata, pak montir sudah tidak ada di sampingku. Kulempar kuat bawaanku. Namun beberapa warna lengket dan sisa di tangan dan bajuku. Sesegukan itu masih tersisa di tenggorokan dan hidungku.
“Sudah. Aku juga sudah mengisi kendaraanmu dengan premium. Oli terbaik juga sudah. Ban serap sudah diperbaiki” sebuah suara dari samping, pak montir, sedikit mengejutkanku.
Aku menarik nafas, berharap bisa merasa lega.
“Terima kasih” ucapku pendek.. Aku ingin berucap banyak, tapi serasa semua kata-kata tersekat di tenggorokan. Dia mengawalku ke kendaraanku pelan. Kaki ini serasa berat.
“Mulanya semua akan terasa berat dan tidak biasa. Ya, maklumlah, kendaraanmu kan lama tidak diservis” matanya mendelik kepadaku. Aku hanya diam, dia memang benar. Aku malu.
“Aku sudah berusaha memberi servis terbaik. Tau tidak, ternyata spedometernya juga tidak pas lagi??!” tanyanya. Aku tidak berniat menjawab. Rasanya malu, selama ini aku memang tidak terlalu peduli.
“Aku tidak bisa menjanjikan kau bisa mengemudikannya dengan lancar secepatnya. Juga tidak bisa mengatakan dengan pasti pada meter berapa kau akan merasa cocok dengan persneling, rem, klakson yang sudah kuperbaiki. Warnanya tidak perlu diubah, aku hanya menggosok dan menyiramnya. Warna itu cocok, dan hanya untukmu”
“Begitu ya?” tanya ku lesu. Dia mengangguk saja.
Terdiam, rasanya hanya ingin diam. Aku ingin merasa lega. Tapi aku khawatir banyak-banyak menghirup udara, karena sesak- kutahu- masih akan terasa di setiap hela nafas ini. Sesak yang selalu membuat ku merasa mual setelanya.
Bismillah.. beberapa helaan nafas. Masih ada sesak itu. Alhamdulillah, semakin banyak ruang kosong di hati, semakin lapang dan lega.
Aku hendak beranjak. Semburan nafas hangat melalui bibirku yang semakin kering, aku tidak sakit, tapi sangat melelahkan. Aku menoleh ke belakang, pak montir mengangguk. Senyumnya cukup untuk mengatakan “Ini memang tidak mudah. Tapi yakinlah, semua akan baik-baik saja.. lanjutkanlah perjalanan.”.
“Hati-hati..” katanya.
“Assalamualaikum..”
Lirih, jawabanku hampir hanya dalam hati. Rasanya masih berat untuk beranjak.
Berbalik, aku melanjutkan perjalanan.