Chocolate Covered Sesame Balls

Minggu, 27 Desember 2009

Senyum Sabit

semalam,

satu bintang, hanya satu
sabit melengkung manis
meski mendung semarak
semarak menggagalkan pertemuan syahdu
satu bintang dan lengkung sabit

bintang muncul, dan tetap menjaga jarak
awan membuyarkan sinar sabit
dan bintang tenggelam di balik awan hitam
ketika perlahan binaran sabit membentuk lengkung emasnya
siapa yang akan menghitung, dan menunggu
ketika waktu mempertemukan keduanya
biar hanya waktu

mengapa awan hitam itu bermain
mempermainkan kerinduan sang bintang
dan senyum sabit yang istimewa

bintang muncul, dan masih menjaga jarak
awan membuyarkan sinar sabit
dan bintang tenggelam di balik awan hitam
ketika perlahan binaran sabit membentuk lengkung emasnya
begitu seterusnya, begitulah seterusnya
nanti, waktu yang akan mempertemukan keduanya

desember 23, 2009


note: semalam, memang begitu keliatan sabitnya. cantik hampir tersenyum, sekalipun mendung memaksa gelap semakin gulita. satu bintang, tidak jauh, tetap menjaga jarak. aku memandang berkali-kali, hanya untuk menyenangkan hati, bersyukur bisa menikmati pemandangan indah ini. aku sekali-sekali, sengaja melihat lagi, hanya untuk memastikan, adakah awan hitam berkenan lengkung sabit itu bertemu dengan bebintang yang tetap menjaga jarak.

ketika pagi ini kutulis ini, kusisakan lengkung sabit itu dalam hati, supaya lega perjalanan esok hari, amiin ya Allah..

hanya ingin berbagi; bahwa langit malam itu selalu indah, sekalipun bulan tidak purnama J

Aku begitu mencintaimu

bulir bening itu terus saja mengalir
tak peduli pada aku yang malu
karena ketauan menangis

aku tidak tahan
tidak bisa menggambarkan
tidak kuasa menuliskan
bingung mengungkapkan
kecamuk yang membadai

mudah-mudahan ini pertarungan terakhir
harapanku begitu
aku lelah, ya Allah
(aku malu, menuliskan namaMu
pada picisan begini,
tapi inilah aku)

air mata ini masih mengalir
lagu keras stereo masih mengalun
sekedar menyangkal
bahwa aku rapuh
dan tetap harus bertahan
karena life must goes on

sesegukanku,
apa pedulimu
biarkan bulan ini lalu
dan air mata itu masih mengalir
dan kuharap hanya untuk beberapa hari tersisa
rebah hati ini tak daya
karena aku begitu mencintaimu
biarkan tahun ini lalu
dan kusemat duka ini di sana

suatu hari nanti aku ingin
kita tetap dapat tersenyum
keadaan apa pun yang memilih kita

desember 22, 2009
masih dengan air mata

Kamis, 17 Desember 2009

Hidung Istri


Hidung Istri ; Saat Duka Saat Bahagia; Abdul Wahab Muthawi

.....
“Coba perhatikan, mengapa para penumpang kereta api atau pesawat yang disatukanoleh nasib dalam sebuah perjalanan dapat saling berinteraksi dengan sopan dan halus? Mereka saling menghargai dan menjaga perasaan orang lain”

Aku mendapat jawabannya, mereka para penumpang dalam perjalanan pasti akan berakhir dan berpisah. Masing-masing akan pergi ke tujuannya sendiri. Karenanya hidup mereka muia selama perjalanan dan tidak melakukan kesalahan-kesalahan kecil antar sesama.

Jika demikian halnya, mengapa para penumpang perjalanan kehidupan ini tidka bersikap seperti itu kepada penumpang lainnya dengan sikap dan perilaku yang sopan dan saling menghargai. Meski perjalanan hidup ini terasa lama, tapi sebenarnya hidup ini sangat singkat.

“Ya.. kenapa?”

“Kenapa sebagian orang membayangkan bahwa permasalahan kehidupan sesungguhnya telah usai? Memeriksa hidung hidung mereka dan hidung orang lain, lalu menambahkan permasalahan ini pada problematika hidup orang lain dengan cara seperti ini?”

“apakah Anda punya jawaban yang memuaskan atas pertanyaan ini?”

--------

Itu adalah kutipan beberapa paragraf terakhir dari buku Abdul Wahab Muthawi, dari serial Hidung Istri. Judul serial itu memang sedikti lucu, menurutku. Mengapa harus “hidung istri”?. Ternyata di Mesir, para gadis yang hendak menikah maupun para isteri merasa minder dengan hidung mereka yang mereka anggap besar, tidak cantik, dan sebagian para calon suami atau suami tidak menyukai bentuk yang tidak indah ini. Padahal sebenarnya ini hanyalah perasaan para perempuan saja.

Abdul Wahab Muthawi, salah satu penulis ternama Mesir, juga pemimpin redaksi sekaligus pengasuh kolom surat pembaca harian Al Ahram yang terbit di Kairo, justru kemudian terinspirasi untuk menamai salah satu rubriknya dengan nama Hidung Istri.

Dalam serial Hidung Istri ini juga disisipkan salah satu kisah yang ditulis sastrawan Prancis, Jean Paul Sartre berjudul Hidung Palsu..

Masalah hidung barangkali adalah masalah yang biasa. Bahkan menurut sebagian orang mungkin sepele. Tapi efeknya luar biasa. Cuma karena “hidung”, bisa-bisa timbul penyesalan yang tidak pernah ada kesempatan utnuk memperbaikinya.

Wis sengaja hanya mengutip bagian akhir dari serial Hidung Istri ini, hanya menyebut siapa Abdul Wahab Muthawi, dam kenapa kenapa judulnya Hidung Istri.. Tidak lebih dari itu. Mudah-mudahan teman-teman yang sempat baca note ini sempat juga baca Saat Duka Saat Bahagia; Abdul Wahab Muthawi. Sekalipun buku ini terbitan tahun 1996 (di mesir, tahun 2004 di Indonesia), tapi menurut wis serial-serial yang ada di dalamnya relevan sampai kapan pun, dan terutama untuk “kita”.

Serial lainnya yang menarik juga; Dimensi Cinta Segi Empat, Yang Hilang Yang Kembali, dan tentu saja Saat Duka Saat Bahagia itu sendiri yang mewakili hampir semua serial yang ada di dalam buku ini.

Mudah-mudahan ada kesempatan :)

Naek Haji Rame-rame Yuk!!!

Assalamu’alaikum..

Hari sabtu minggu lalu, wis di undang temen untuk ikutan presentasi bisnis. Beberapa hari sebelumnya dia udah cerita-cerita juga. Ya biasalah MLM. Mulanya wis agak enggan mengiyakan untuk ikut hadir presentasi. Wis pernah gabung di beberapa MLM sebelumnya, tapi karena produknya aja. Sebenarnya iming-iming “hanya dengan 2,8 juta bisa naek haji” juga ga ngaruh ke wis karena emang ga punya duit cash sebanyak itu. Maklum lah mahasiswa :D. Tapi akhirnya wis memutuskan untuk datang juga sabtu ba’da ashar itu, wis pikir ga ada salahnya kaya’nya tau gimana cara naek haji dengan cara lebih mudah dan lebih cepat, dan halal pastinya..

MLM Haji, wis lebih enaq sebut begitu. Produknya tabungan haji. Yang punya MPM, biro travel haji yang ada di jakarta. Em, sebenarnya wis udah dapat file power pointnya, tapi akan lebih enaq n menarik kalo dengar penjelasan langsung. Wis sendiri akan segera bergabung, insyaAllah..

Setiap MLM pasti akan mengaku bahwa mereka berbeda dari yang lain. MLM itu bisnis jaringan, menjadi besar karena dikembangkan bersama-sama. Dan menjadi berbeda adalah nilai jual tersendiri bagi bisnis ini. Apakah MPM beda dengan yang lain? Sudah pasti.. J

MPM tidak janjikan bonus berlimpah. Kalo niat kita pengen naek haji aja, itu udah cukup motivasi untuk kita jalani bisnis ini. Jadi tidak ada istilah kejar setoran atau tutup poin. Bisa sesantai mungkin. Atau bisa semenggebu mungkin, tergantung dari seberapa ‘niatnya’ kita naek haji. Tapi selain bisa naek haji, ternyata kita juga bisa bantu saudara2 kita yang lain untuk sama2 naek haji, menarik kan? J
Lebih dari itu, sudah pasti, bisa untuk nambah penghasilan tak terbatas, sesuai usaha kita pastinya J

Wis ga mau berpanjang2. Temen2 kalo minat, hubungi wis ya, nti wis akan pertemukan teman2 dengan “ahlinya” n kita semua bisa tanya2 langsung ke beliau. Wis lebih online via sms; 0878-9024-1868, nomor As sementara ga pake dulu.

Terima kasih udah baca note ini.. J
Mudah2an bermanfaat..


Bertaburan Bintang

Mentari belum muncul
pekur aku, entah pada apa
air mata tak mengalir
ku kutuki hati y tak peka

Mentari blm muncul
aku memaksa jiwa utk luruh
supaya sejalan dgn niatku utk kembali

Dimanakah?
Aku tak tau
Aku hilang

Subuh selesai,
kukira smua tlah usai
Aku tengadah,
hampir hampir aku menyerah
aku tengadah, tak kusangka mataku bertemu kejora, benar2 kejora

Mentari belum muncul,
di ufuk barat aku menjaring kejora
----





fajar 16 Desember.
Note: aneh, kenapa sinar bintang itu tembus lewat jndela y biasanya b'debu. Krn tak tahan, lngsung menghambur k balkon- di langit sebelah barat, tak hanya kejora, taburan bintang menyapaku. Allahu akbar-
satu harapan pergi, y lain menanti (utk dtunaikan)..

Perjalanan Tarbiyahku; Dulu, Kini, dan Nanti...




Sudah beberapa minggu ini tidak ketemu dengan MR dan temen-temen liqo-an. Rindu? Sedikit. Mengapa tidak banyak? Tidak tau kenapa. Ini kelompok baru untukku. Beberapa waktu lalu (tidak ingat kapan persisnya) ditransfer ke kelompok lain, untuk alasan tertentu pasti, tapi aku tidak pernah tau kenapa. Mengapa tidak tanya? Sudah. Kata temen mantan liqoanku, “kita husnuzhon saja”. Ok.

Usiaku tidak muda lagi. Mulai tarbiyah sejah mulai kuliah. Waktu itu langsung masuk kelompok yang dibuat di kos-an sama kakak kelas yang juga kebetulan satu fakultas. Hingga lebih dari tiga tahun liqo-an kami berganti terus. Mulai dari ganti-tambah personel, dan ganti MR pastinya. Tapi waktu itu liqo-an cukup menyenangkan. Sekalipun ganti MR, sekalipun tambah personel, sekalipun ganti personel. Ada juga personel yang dipindahkan ke kelompok lain. Hingga saat ini sudah empat MR. Em, tapi personel yang pernah sekelompok denganku, tidak terhitung.

Dulu, kalau tidak hadir ke liqo-an, rasanya rugi besar. Rasanya ada hal berharga yang lewat. Hal berharga itu tidak semata materi yang disampaikan oleh sang MR. Tapi setiap detik yang kita lewati bersama teman-teman untuk sahaja menghadirkan hati dalam jamaah kecil yang dengannya kita berharap mendapat ridhoNya. Rasanya beruntung memiliki waktu lebh kurang dua jam seminggu itu bersama mereka. Tidak tau bagaimana menjelaskannya, tapi kalau ingat sekarang, rasanya rindu dengan liqo-an yang dulu. Rasanya hikmah-hikmah itu bertebaran siap untuk dipungut dalam setiap untai kata-kata, setiap detik terlewati.  Di sana kita berbaur karakter, dan mencoba saling menerima bahwa tidak setiap kita mendapat porsi perhatian yang sama dari MR, atau dari teman-teman yang lain. Di sana kita mencoba menerima, bahwa kita selayaknya mendapat sesuatu sesuai kadar kebutuhan kita. Ketika berlebih kita dapat bersyukur, ketika kurang semua berusaha untuk berlapang, bersabar. Masih ingat juga bagaimana keegoisan ketika “kabar-kabari”, setiap orang ingin menceritakan semua hal dalam waktu yang terbatas, dan ini jadi rubrik paling digemari setiap bulannya, sebagai indikator bahwa kita memang butuh untuk berbagi, butuh untuk didengarkan, butuh untuk mendengarkan.. J

Membagi liqo menjadi tiga tahapan, dulu-kini-nanti, akan menenmpatkan liqo masa dulu sebagai liqo yang gilang gemilang, khususnya buatku. Di kelompok yang dulu, bercampur di sana aktivis dari organisasi aneka rupa. Berbaur dengan teman-teman yang menempatkan prestasi akademis pada prioritas nomor satu. Juga ada teman-teman yang “biasa” saja, tapi sesungguhnya mereka luar biasa, sungguh luar biasa. Mereka standar dalam organisasi, tidak terlalu ketat dalam prestasi akademis, tapi umumnya sangat penurut. Mereka umumnya tidak terlalu banyak bicara kalau tidak ditanya. Mereka senang kalau bisa dapat perhatian dari MR atau temen-temen lainnya, tepi mereka malu untuk melakukan hal-hal yang menarik perhatian. Nilai kepedean mereka 50:50. Mereka butuh waktu untuk konfiden dan mulai berbagi dengan teman-teman se-liqo. Mereka punya keseharian luar biasa yang tidak nampak dari penampilan mereka yang tidak norak, malah kadang ABC. Mereka potensial, tapi tidak banyak yang tau. Tidak banyak yang tau kalau mereka juga berjuang dalam kebaikan dalam keseharian mereka yang seperti orang kebanyakan. Lembar amali mereka seringnya standar, kadang-kadang lebih baik. Kalau mereka tidak hadir liqo, itu pasti karena sakit, rumahnya terlalu jauh dan kendaraannya dipake anggota keluarga yang lain (dan memang rumahnya benar-benar jauh lho! Eg; montasik), membantu orang tua, dan sejenisnya. Melakukan seperti diminta. Mereka tidak banyak ceng cong. Luar biasa tsiqoh. Em, tapi tidak semua sich begitu, kebanyakan begitu.

Teman-teman aktivis, biasanya lebih grasah grusuh (hehe, pada umumnya seperti itu). Mereka tidak bisa diam, maunya bicara dan menyampaikan pendapatnya, menyuarakan solusi, atau sekedar lempar wacana n statemen. Mereka kritis, tapi kadang juga cerewet. Saking sibuknya dengan aktivitas, lembar amali mereka yang kemudian sering membungkam mereka. Duh, ini sisi yang ironi sebenarnya. Kalau mereka tidak datang ke liqo-an itu pasti karena rapat presidium, ada agenda fundrising, atau sekedar jaulah ke kampus orang. Pokoknya aktivis itu aktivitasnya nabrak-nabrak betol. Mereka punya keluhan mulai dari yang biasa sampai yang kronis seputar prestasi akademis mereka, tidak bisa menolak untuk memprioritaskan organisasi ketimbang kampus, sistem sks, dan sejenisnya. Kata-kata sang MR yang paling sering dilontarkan untuk mereka adalah “Bersabarlah, pertolongan Allah itu dekat. Allah pasti menolong hamba-hambanya yang menolong agamanya” dan taujih-taujih untuk mengatur waktu dengan lebih baik. Tidak tau apakah kemudian mereka benar-benar mencoba membagi waktu dengan baik, atau tetap berkutat dengan kesibukan yang melingkari mereka seperti obat nyamuk, yang membakari sedikit demi sedikit semester yang mereka lalui. Tapi mungkin, justru tekanan-tekanan itu yang menguatkan mereka untuk tetap bertahan, baik di liqo-an, maupun di organisasi. Mereka adalah tipikal yang selalu haus untuk berkeringat demi kebaikan (aku menyebutnya begitu, hehe). Panitia ini itu, demo-demo, lobi kesana-kemari, mabit, pergi pagi dan pulang sore atau mungkin malam baru ada di rumah lagi. Tapi aku yakin, perjalanan seharian seharian mereka tidak sekedar ngabisin bensin doank, insyaAllah.

Teman-teman yang mementingkan prestasi akademis, selalu punya banyak alasan ketika mereka diminta bantu ini itu di organisasi kampus. Mereka mandiri. Dalam lembar amali pun hampir selalu unggul. Mungkin diri mereka selalu diliputi semangat untuk berprestasi dalam segala hal, mendapatkan nomor kecil dalam setiap persaingan. Yang pasti, ilmu adalah motivasi terbesar mereka. Bagi mereka, waktu adalah tugas kuliah, pustaka, cari bahan di warnet, dan begadang untuk menyelesaikan tugas kelompok. Jadwal liqo’ kadang-kadang HARUS dirubah-rubah karena jadwal kampus mereka yang padat. Mereka seperti selalu berseteru secara dingin dengan temen-temen aktivis. Untuk para aktivis mereka berteriak dalam hati “untuk apa ngurusi urusan orang, urusan ndiri aja ga beres” (hoho, tentu tidak semua begini dan mungkin ini terlalu hiperbola). Dan para aktivis akan membalas dengan panas “egois! Lihatlah masih banyak amanah yang harus kita selesaikan ketimbang mengalokasikan semua waktu untuk tugas-tugas kuliah itu” (hehe, ini juga, terlalu berlebihan mungkin). Tapi pikiran-pikiran seperti itu memang pernah terlintas kan? Hayo ngaku? Hehe.

Sekalipun begitu, mereka tetap damai ketika sudah berkumpul. Rasa sayang itu tetap ada, apa lagi ketika majelis ditutup dengan doa penutup majelis dan doa rabithah. Rasanya, dalam beberapa detik itu; Aku mencintaimu karena Allah, sedihmu sedihku, sandalku sandalmu (pinjam maksudnya, hehe), kantongku kantongmu, dan sebagainya J. Tapi, dalam implimentasinya, memang begitu koq. Kalau ada yang kemudian tidak begitu, temen-temen pasti lupa, sedang futur, atau sedang terganggu dengan masalahnya sendiri yang lebih besar.

Itu hanya satu percik pelajaran dari liqo masa lalu. Masih banyak hal yang rasanya tidak habis ditulis sehari untuk kembali membangkitkan semangat tarbiyah tzatiyah masa kini yang luntur, atau sekedar mengenang dan bercermin tentang diri, dan memahami sepenggal perjalanan yang membekaskan pejaran yang amat banyak. Bercerita tentang perjalanan tarbiyah dulu, rasanya tidak ada habisnya. Kalau dulu ada yang bikin kesel, kalo di ingat sekarang malah bikin ketawa. Kalau dulu bikin marah, kalo dicerna lagi sekarang malah malu rasanya bisa marah dengan hal sepele begitu.

Tidak tahu sejak kapan, aku mulai menganggap liqo itu penting. Rugi rasanya kalau tidak hadir. Seperti ada serial yang hilang kalau tidak datang. Ada saja drama dalam tiap episodenya. Belum lagi epik dan kabar yang mengharu biru. Kalau dihitung-hitung, materinya Cuma 20 menit. Terlambat 15 menit. Tilawah 5-10 menit. Tausiah 10 menit, udah lama kali tu. Tapi kadang molor juga sampe setengah jam kalo tausiahnya ditugasi MR. Tapi kemudian banyak yang berubah, dari ku, dan dari liqoan ini. Aku yang sangat mencintai dokumentasi, tapi lupa untuk mencatat sejak kapan semuanya mulai berubah, pelan berubah. MR berganti, itu biasa. Teman-teman dipindahkan, juga biasa, tapi mulai bertanya. Teman-teman ditambah dari kelompok lain, biasa, senang. Satu persatu teman-teman lama dipindah, wah, semakin bertanya-tanya. Sisa beberapa dengan teman lama dan teman baru yang mulai akrab, mencoba menggapai-gapai suasana lama dengan acak dan tidak pasti. Hanya satu-dua teman lama, dan mereka pun mulai jarang datang karena kesibukan dan hal lain yang kita hanya boleh berhusnuzhon dengannya. Satu teman lama, banyak teman baru, banyak juga teman baru yang datang dan pergi, maka aku mulai- mulai berpikiran yang tidak-tidak. Mulai enggan, tapi tetap bertahan, tapi tidak melakukan apa-apa. Satu teman lama, teman baru yang sering tidak bisa datang, teman-teman baru yang datang silih berganti di setiap pertemuan, aku menerima, mengabur, dan pikiranku semakin picik, nauzubillah. Hingga akhirnya tinggal aku dan MR.. (teman-teman yang lain tidak datang karena berhalangan.. J). Dan tidak lama kemudian aku berganti MR..

Aku menyukai kelompok kecil, karena di dalamnya kita bisa belajar dengan lebih baik. Aku mencintai liqo ini karena hanya ini lah satu-satunya yang mampu mengikatku saat ini. Bagaimana pun sendiri itu lemah, tidak ada yang mengingatkan, tidak ada yang menguatkan. Karena itu aku tetap bertahan, karena aku ingin untuk tetap “teringat” dalam waktu yang sering aku lupa.

Beberapa pertemuan belakangan, aku tidak hadir, juga tidak ketemu teman-teman, tidak ada pertemuan. Aku merindukan liqo yang dulu, sekedar merindukan tidak membuat itu kembali, aku tau. Begitulah, kita akan merasa kehilangan ketika sesuatu telah tiada. Seperti perubahan orang kaya menjadi orang miskin, begitulah perumpamaan liqo ini. Aku tidak besyukur, tidak memelihara, dan kemudian masa-masa yang gilang gemilang itu dicabut dari diriku, dari diri kami.


Antara yakin dan tidak aku tetap melanjutkan liqo. HARUS. Aku memaksa diri ini yang mulai malas tanpa alasan yang jelas. Menenggelamkan kritik-kritik atas ketidakprofesionalan. Biarkan sekarang merakit lagi, sekalipun masa iskandar muda itu tak mungkin kembali, mudah-mudahan ada masa-masa lain yang lebih baik dari hari kemarin, untuk ku dan untuk kita semua yang “begini bentuknya” sekarang ini J amiin.


Jumat, 11 Desember 2009

Sekalipun satu bintang

satu bintang benderang
mendung menutupi pilihan pilihan
tapi aku tetap, menatap


bukan karena aku masih
tapi karena aku butuh
untuk membuatnya tetap bersinar

Jumat, 04 Desember 2009

Apa Pun Itu

Aku mual
Tapi tidak khawatir
Tidak begitu khawatir
Sedikit saja
Sudah biasa

Apa pun kabar yang akan ku ketahui nanti
Biar waktu yang membawanya
Jangan bertanya, jangan menerka
Karena bertanya, kadang tak tepat waktunya
Kadang tak tepat bahasanya,
Kadang tak tepat siapa yang menjawabnya

Biarkan waktu yang menjawabnya
Sudah terlalu biasa kalau sakit yang nanti kan terasa
Sudah begitu aku mengharapkannya, kalau itu bahagia
Sudah tidak asing saja, kalau kecewa yang kemudian mendera

Bukankah itu semua rasa yang Allah titip untuk kita
Supaya tidak tawar saja hidup ini
Supaya tidak abu-abu kelu warna hari kita
Maha Besar Allah,
Semoga Ia kuatkan hamba dengan apapun kabar takdirnya

Dari Hati

aku masih termangu
oleh hari yang berganti rupa dengan tiba-tiba
masih bingung, dengan hujan yang kadang deras
dan setelahnya matahari tak pernah mengalah
aku masih gagu untuk menjelaskan
mengapa begitu cepat musim berganti rupa
mengapa begitu mudah hati berganti warna

ketika sakit mendera
serasa waktu berjalan lama
tapi ketika maaf itu terbuka
seperti udara yang menembus
di antara celah sempit tanpa rongga

Semoga kedengkian itu benar-benar telah mencair dengan pelan
Semoga kemaafan itu menyelinap dan menyelimuti penuh hati kita
La haula wa la kuwwata illa billah...

Ya Allah,
Seandainya perasaan begini dapat bertahan selamanya
Seandainya kedamaian ini milikku selalu
tapi itu hanya pengandaian ku
tak dapat begitu

alhamdulillah
aku bisa bilang apa lagi
rasanya seperti menjadi bayi
mudah-mudahan engkau juga

bismillah...
kali ini kusebut namaMu di akhir syukurku
sebagai pertanda,
akan selalu ada namaMu di awal langkahku (insyaAllah)
allahumma amiin
---


nb; Ya Allah, ini dari hati, sekalipun tanpa air mata, sekalipun banyak yang hamba sembunyikan dalam hati dari manusia, namun Engkau dapat mambaca. Lihatlah hati ini, sirnakan segala niat jahatnya, hapuskan semua kedengkian dan kebencian yang bukan karenaMu. Gantilah ia bila tak pantas lagi tubuh ini menyandangnya.
Allahu Akbar! Dengan takbir ini kami berharap Engkau menoleh dan melihat hati yang bimbang ini

Saya Butuh Menjadi Penulis Hebat

“Bila Anda menjadikan menulis sebagai pilihan hidup, sama seperti saya, duhai... saya ingin sekali memeluk Anda sekarang!”


Jujur, itu kalimat pertama yang membuat saya hampir terloncat dari tempat duduk di depan komputer ketika pertama kali membaca sampel buku Jonru; Cara Dahsyat Jadi Penulis Hebat. Tapi saya tidak jadi loncat koq, saya ganti dengan mengerutkan kening dan nyengir kuda saja. Bukan! Bukan karena saya takut dipeluk Jonru, hehe. Soalnya saya tidak cukup bisa membayangkan seberapa besar kecintaan Jonru dengan tulis menulis dan kecintaannya terhadap siapa saja yang punya minat menulis, siapa saja yang hampir selalu menemukan kesulitan dalam menulis.



Sejujurnya, saya ingin sekali memiliki buku sakti menulis versi Jonru ini. Sebelumnya saya pernah baca dua buku yang membahas teknik menulis dan menembus media. Untuk aktivitas menulis, membaca tanpa mempraktekkan sama dengan omong kosong, nonsense! Tapi Cara Dahsyat Jadi Penulis Hebat (untuk seterusnya saya sebut CDJPH saja ya..! J)sepertinya akan berbeda. Akan memberikan efek berbeda untuk saya, saya yakin itu.

Sampelnya yang cuma tiga bab itu cukup bikin penasaran. Subbabnya mungkin sengaja disisipkan loncat-loncat oleh Jonru. Dan saya semakin kecele ketika sampai di bab terakhir sampel itu, bab tiga; poin kesebelas; racun nomor dua.. ternyata sampai di situ saja versi gratisnya. Mungkin kalau buku itu gratis semua, saya tidak akan jadi ikutan lomba Saya Ingin Jadi Penulis Hebat ini. Kata Jonru, beginilah salah satu cara mendapatkan buku mandraguna ini. Sekalipun dengan membeli pun sebenarnya tidak akan rugi, malah untung berkali lipat, saya setuju dengan Jonru.

Bagaimana tidak untung, karena dengan Rp. 49.000; saja selain dapat e-book lengkap masih dikantongi bonus lainnya yang super duper juga hebatnya. Kita hanya perlu mengeluarkan Rp. 49.000; tapi bisa dapat voucher Rp. 200.000; dari SMO (Sekolah Menulis Online). Ini adalah nilai voucher terbesar yang pernah diberikan SMO, dan belum pernah diberikan oleh organisasi penulisan lain baik yang online maupun yang offline. Luar biasa kan??!

Oya, mungkin Anda bertanya-tanya “apa saja isi voucher Rp. 200.000; itu?”. Apalagi sekolah menulisnya itu online, dunia maya, biasanya banyak penipuan. Kalau Anda masih ragu dengan SMO, silahkan kunjungi situsnya di www.SekolahMenulisOnline.com. Di situs itu Anda bisa dapat info lengkapnya. Bisa dapat brosurnya juga, seperti yang saya sudah download. Sepertinya belum ada sekolah menulis online yang begitu. Saya tidak perlu berpanjang-panjang memuji, lebih baik Anda sendiri yng merasakannya.. J

Sekedar info untuk Anda, dengan voucher itu Anda bisa dapat modul eksklusif gratis dari SMO, langsung terdaftar ke Kelas SMO Free Trial, mendapat bimbingan karir di bidang penulisan dan ini berlaku seumur hidup. Catet! Seumur hidup! Dan masih banyak penawaran dan fasilitas lain menyertai, pasti. Ini benar-benar bonus yang memberi Anda bensin cadangan untuk membakar semangat menulis Anda, tidak hanya dalam hitungan bulan, tapi SELAMANYA!

Satu lagi, mudah-mudahan Anda benar-benar beruntung karena penawaran fantastis ini hanya berlaku untuk pembelian e-book. Iya, benar! E-book CDJPH ini sedang dipersiapkan versi cetaknya. Dan penawaran e-book berbonus voucher ini akan ditutup sewaktu-waktu jika buku cetak CDJPH diterbitkan. Makanya, jadilah orang yang beruntung itu. Mau kan? Kalau begitu langsung saja ke http://www.penulishebat.com untuk melihat tata cara pemesanannya.

Saya Juga Ingin Jadi Penulis Hebat

Pertanyaannya adalah, mengapa saya juga ingin menjadi penulis hebat? Saya tidak tau bagaimana harus menguraikan maksud saya ini. Tapi yang pasti saya luar biasa takjub dengan efek yang timbul dari novel-novel luar biasa karya penulis-penulis hebat, seperti Andrea Hirata, Helvi Tiana Rosa, Asma Nadia, Gola Gong, dan juga penulis-penulis non fiksi seperti Annis Matta, Muhammad Fauzil Adhim, dan masih banyak lagi. Menurut saya mereka termasuk beberapa yang beruntung, bukan hanya karena uang begitu mudah mengalir karena buku-buku mereka dicetak dan dicetak lagi. Tapi juga karena mereka dapat merasa sedikit lega, telah menuntaskan satu amanah, yaitu memberi manfaat. Siapa yang tidak mau jadi orang-orang yang beruntung seperti mereka. Dan menjadi beruntung adalah pilihan, seperti banyak keputusan yang kita buat dalam kehidupan kita. Kalau kita ingin menjadi penulis yang beruntung, maka kita harus terlebih dahulu menjadi penulis hebat, baru kemudian kita menjadi penulis sukses, seperti Andrea Hirata, Dewi Lestari, Habiburrahman El Shirazi, dan masih banyak lagi (atau terserah siapa penulis hebat versi Anda J).

Saya sering merasa “sakit hati” alias cemburu, kalau ada novel-novel baru yang jadi best seller. Seperti ketika tetralogi Andrea Hirata terbit, di satu sisi saya merasa semakin minder, karena tidak kunjung menyelesaikan apa yang saya sudah tulis. Juga ketika memngetahui Fahri Asiza yang dapat menyelesaikan sebuah novel dalam empat hari saja; koq bisa ya??; saya jadi semakin down. Padahal saya tidak “sekelas” dengan mereka. Tapi saya kira, tidak ada salahnya merasa “sekelas”, supaya lebih cepat mejadi hebat seperti mereka.. amiin.

Dan saya yakin, afirmasi-afirmasi seperti di atas (“saya sekelas dengan Andrea Hirata & Fachri Asiza”) sebenarnya penting untuk membuka writer block kita sehingga bisa berlepas dari perasaan minder, gampang menyerah, dan merasa berat untuk mulai menulis. Saya menemukan poin-poin penting dalam daftar isi buku CDJPH Jonru seperti; Teh Power of Konsisiten, Penyakit Minderan dan Cara Mengatasinya, Empat Fakta Luar Biasa Mengenai Pikiran Anda, Cara Mendapatkan APAPUN Keinginan Anda, Ingin Menulis tapi Tak Ada Mood, dan masih banyak lagi. Dan saya yakin, poin-poin yang sudah saya sebutkan di atas juga termasuk masalah kita semua.

Saya percaya dengan kata Jonru dalam salah satu poin di dalam CDJPH; Setiap Penulis itu Unik. Jadi tidak seharusnya saya minder cuma karena tulisan-tulisan saya belum pernah ditelurkan penerbit. Toh kita bisa menjadi penerbit untuk diri kita sendiri bukan? Dengan ngeblog misalnya. Saya sendiri ngeblog di blogger. Isinya tidak semua tulisan saya, banyak juga yang saya sadur dari sumber lain, tapi saya tetap menyertakan sumbernya koq. Karena saya jarang menulis halamannya pun tidak banyak. Kalau sempat mampir untuk menyeruput puisi-puisi saya, kunjungi saya di http://www.wisreini.blogspot.com ya J.

Mulanya, saya sendiri sebenarnya tidak begitu ingin menjadi penulis. Maksudnya, kalau saya menulis ya itu karena memang sedang ingin menulis saja. Kalau menurut Jonru, maka saya termasuk dalam kategori penulis hebat yang menjadikan menulis sebagai hobi belaka. Menulis, buat saya, cara paling sederhana untuk menjadi ekspresif. Tapi menulis, menurut saya, juga bisa menjadi cara luar biasa untuk melepaskan beban yang sulit dibagi dengan orang lain. Maka kemudian saya juga masuk kategori yang lain; penulis yang hanya menulis untuk self therapy saja. Saya menikmati keduanya. Saya sudah jalani sejak SMP, tapi saya baru sadar kalau menulis adalah kebutuhan ketika saya kuliah.

Bagi saya, tidak menulis sama seperti tidak minum. Saya pernah kebelet banget pengen menulis, tapi laptop kala itu lagi diservis. Di waktu yang lain, juga pernah tidak bisa menelurkan satu patah kata pun, padahal waktu itu lagi butuh banget untuk share masalah-masalah saya, rasanya seperti lama tidak BAB! Maka dari itu saya HARUS baca Cara Dahsyat Jadi Penulis Hebat sampai selesai! Supaya saya lancar menulis setiap hari.

Di folder oret-oret saya, ada tiga belas janin cerita (dua diantaranya novel), mudah-mudahan nanti bisa terlahir semua dengan sempurna. Baru dua yang benar-benar jadi, dan belum satu pun yang saya kirimkan. Jangan tanya kenapa. Dan karena itu pula maka saya dalam keadaan yang sangat terdesak untuk segera menuntaskan CDJPH milik Jonru.

Saya mulai ingin menulis fiktif setelah ikut pelatihan salah satu organisasi kepenulisan. Waktu itu banyak latihannya. Tapi yang paling berkesan buat saya ketika kami diminta “memelintir” kisah Malin Kundang. Pelintiran cerita Malin Kundang yang belum selesai sempat saya upload di blog saya untuk dikomentari. Tapi waktu itu tidak ada yang komentari L. Setelah pelatihan itu berakhir, maka berakhir pulalah aktivitas saya menulis fiktif. Seterusnya, saya hanya menulis diari, dan kadang-kadang puisi. Oya, for your info; saat ini saya sudah punya tiga buku kumpulan puisi saya sendiri. Mungkin kalau puisi-puisi semasa kuliah juga dibukukan semuanya ada empat buku.  Mohon maaf, saya sedikit narsis.. J

Mulai menulis puisi ketika SMP. Saya masih ingat, setiap jam pelajaran bahasa Indonesia adalah saat-saat paling boring buat teman-teman sekelas, dan dapat tugas membuat puisi maka akan bertambah-tambah rasa bosan itu. Tapi sebaliknya, hati saya selalu bersorak girang. Saya bangga sekali waktu puisi saya dibaca di depan kelas oleh ibu guru. Sejak saat itu saya percaya saya bisa menulis puisi. Dan mengalirlah puisi-puisi itu sampai-sampai saya sendiri kadang bingung maknanya apa. Buku-buku itu saya simpa rapi karena dokumentasi itu penting. Setiap buku bisa menjelaskan saya siapa pada masa apa. Setiap buku mencatat perubahan yang terjadi pada diri saya, seperti membaca diri sendiri jadinya.. J

Dan sekarang, dengan tetap menulis diari, saya berharap satu, lima, atau sepuluh tahun kedepan dapat kembali membaca diari ini dan memetik banyak pelajaran berharga. Yah,s ekalian menulis perjalanan hidup sendiri J. Kalau kita beruntung, mungkin orang lain akan menulis tentang kehidupan kita suatu hari nanti, tapi kalau tidak? Saya kira belum terlambat untuk menulis apa yang kita alami sehari-hari.. bukankah ini yang kita temukan dalam Tetralogi milik Andrea Hirata?? Tapi maaf ya Bang Andrea, saya ga nyontek koq, ini ide sudah ada sebelum tetralogi itu terbit... J

Untuk terus menginspirasi diri tetap menulis, saya sengaja add Jonru di facebook saya, sekalian menjadi fans di fanpage-nya http://www.facebook.com/penulishebat. Saya ikuti juga menjadi penulis hebat di twitter di http://www.twitter.com/penulishebat sekalipun saya sendiri belum begitu mengerti cara memanfaatkan twitter dengan benar J.

Karena saya butuh menulis dan menulis akan terus menjadi bagian hidup saya, maka menjadi penulis hebat adalah KEHARUSAN bagi saya. “Aku ingin jadi penulis hebat” kukatakan ini pada dunia, karena untuk terus hidup aku harus terus menulis.




Minggu, 29 November 2009

Antologi Nopember

(Bismillah)

Aku Ingin Tetap Begitu

Seperti awan hitam yang hilang setelah hujan menyiram
Seperti pohon yang bertambah seri setelah daun layunya luruh
Seperti pagi benderang setelah mentari menyaput pekat malam
Begitulah segala yang kulakukan untukmu
Seperti amalan-amalan orang kafir yang tidak akan pernah dihisab
Memberi manfat, tapi tiada nilanya di matamu

Aku keliru
Ku kira aku salah

Tapi, aku ingin tetap menjadi awan hitam
Menjadi daun-daun layu yang luruh
Menjadi pekat malam yang menentramkan
Bila itu mungkin
Aku ingin tetap begitu
Tanpa pernah kau tau
Tanpa pernah kau sadari

-------------------------------------------------

Dalam Jiwaku yang Tak Lagi Melawan

Biarkan rasa sakit itu mendera,
Ku kira aku telah sembuh
Tapi sakit ini justru membuatku merasa nyaman
Rasa sakit yang telah menjadi candu bagiku
Karena ketika aku bahagia aku malah menderita
Karena ketika aku tertawa aku malah semakin sesak

Biarkan rasa sakit ini menyusup ruang hati
Seperti air yang mencari tempat yang rendah
Biarkan rasa sakit ini bersorak sorai
Seperti euforia pasukan yang menang pertarungan

Biarkan aku menikmati rasa sakit ini
Hingga ia merasa bahagia
Dengan berpesta pora menusukiku
Biarkan aku menikmati rasa sakit ini
Hingga ia merasa tentram
Dalam jiwaku yang tak lagi melawan

Senin, 09 November 2009

Sendiri itu tidak mudah

Berusaha untuk sendiri itu tidak mudah. Tapi mengapa kesendirian yang telah lebih lama ku lalui ini tidak mudah untuk kuteruskan. Mengapa? Tidak tau. Pada mulanya aku menjadi tidak bahagia. Pada awalnya semua menjadi sangat berat. Seperti semua berpaling dan menjauh meninggalkan aku. Padahal sebenarnya tidak begitu.

Kadang menjadi sendiri itu lebih baik, benar kan? Sekalipun itu tidak mudah. Kita butuh waktu untuk menyelami apa yang membuat kita butuh untuk bersama. Kita butuh waktu untuk memikirkan kembali mengapa kita tidak lagi bersama, dan mencoba untuk menerima ketika jawaban-jawabannya adalah sesuatu yang tidak kuasa kita untuk megubahnya. Di luar kehendak kita. Mudah-mudahan kita bisa menerimanya. Amiin.

Kita harus percaya, bahwa ini hanya penggalan. Ini hanya bagian yang kita lalui dalam waktu perjalanan. Ini adalah pahit yang harus kita tenggak demi kesembuhan kita. Ini adalah sakit yang akan sembuh ketika musimnya telah berlalu. Ini adalah sepi, untuk sejenak kita memaknai dan menysukuri kebersamaan yang sekarang tidak lagi.

Jangan ucapkan apa pun, kecuali itu membuat segala sesuatu menjadi lebih baik. Biarkan hening melumat detik-detik waktu ini. Biarkan hati kita yang memaknainya dan menerimanya dengan sempurna. Berusaha meyakinkan diri sendiri, bahwa semua akan berlalu.

Pada kecepatan rata2 ini, mudah-mudahan semua baik-baik saja. Bukan karena cukup tenang aku tidak membuat percepatan. Tapi karena aku tidak cukup yakin untuk membuat percepatan. Tidak cukup yakin dengan kekuatan yang ku punya. Tidak cukup yakin dengan jarak yang ada di depanku. Tidak cukup yakin kalau aku tidak akan menabarak.

Biarkan aku berlalu dengan kecepatan standar ini. Ini lebih baik untukku. Supaya aku bisa memaknai setiap yang aku lalui dengan baik.

Ternyata Purnama Tak datang

Bismillah

Semalam purnama masih datang
Aku tidak tahu, apakah berguna menulis kegalauan ini
Aku galau, tidak tau akan melangkah kemana,
padahal kaki ini membawaku jauh setiap hari
Tapi aku tidak menemukan tempat dimana pun aku berada

Semalam purnama masih datang
Resahku masih bergelayut
Ketakutan tanpa sebab
Ketakutan yang dulu selalu kucibir
Ketakutan yang rasa rasa tak dapat ku kuasai

Semalam purnama masih datang
Satu bintang, selebihnya langit berawan
Tapi hujan tak tampak hendak menyiram
Hanya angin, dan selebihnya adalah kekhawatiran

Emm, nanti malam..
Purnama masih datang ga ya..?
Aku rindu sepi, tapi kegelapan malam itu gulita menakutkan
Aku rindu hening, tapi sendiriku tak ada kemana pun aku pergi
Aku ingin pulang, tapi tidak tau akan kemana

Bila nanti purnama masih datang,
Satu malam lagi aku tak perlu sendiri
Biar kumaknai galau
Biar ku resapi resah
Biar kutelungkupi diri dengan gamang
Biar...
Hingga sempurna
Hingga sabit yang tak sempurna menjemputku lagi

Mendengar Yukk!


Kadang kita hanya ingin didengarkan. Didengarkan kadang cukup untuk membuat kita memberi penghargaan tertinggi untuk seseorang. Mengapa?? Karena didengarkan adalah kebutuhan jiwa kita, sejalan dengan kebutuhan diri kita akan penghargaan. Sama seperti tubuh yang butuh makan, makanan bagi jiwa adalah penghargaan dan kepuasaan.

Didengarkan adalah sesuatu yang menyenangkan. Tapi sebaliknya, menjadi pendengar yang baik, tidak selalu menyenangkan dan tentu tidak mudah. Sebagai manusia, itu memang sangat wajar. Sama seperti dalam hal menerima, lebih mudah dari pada memberi. Dipahami, lebih enak dari pada memahami. Dimengerti, lebih menyenangkan dari pada memberi pengertian. Begitulah, fitrahnya...

Coba ingat lagi, ada berapa orang yang sudah kta abaikan untuk kita dengarkan hari ini? Bah! “saya kan sibuk”, “dengerin orang, gua curhat aja ga da yang dengar”, “ga butuh pendegar, saya bisa selesaikan masalah sendiri”, “halagh! Curhat mulu’”, “radio kalee, didengerin..”. Yupz! Banyak seloro, atau celaan yang kita lontarkan untuk menafikan kebutuhan kita “didengarkan orang lain”. Alih alih mengakui, kita lebih memilih untuk mempertahakan gengsi, seolah-olah kita tidak butuh pendengar. Yupz! Satu lagi fitrah, bahwa kita lebih sering mempertahankan gengsi ketimbang berdamai dengan kebutuhan diri kita sendiri.. haha. Hayo ngaku!

Kalo kita sibuk, siapa bilang mendengarkan butuh banyak waktu. Mendengarkan bisa hanya satu menit, 5 menit, bahkan dengan jawaban pendek yang respek kita sudah membuktikan bahwa kita mendengarkan dan telah meahami apa yang kita dengar dengan baik, itu sangat menyenangkan bagi yang di dengar. Kita harus buktikan!

Kalo kita mandiri, didengarkan bukan sekedar ketika kita ada masalah yang tidak bisa selesaikan. Mendengarkan lebih dari itu, kita berbagi atau mendengar hal-hal menyenangkan, menikmati sesuatu yang mungkin bahkan belum pernah kita lakukan sendiri. Ini sangat menarik lho!

Kalo tidak pernah ada yang mendengarkan kita dengan baik (red; sesuai yang kita inginkan), mungkin sebelumnya kita tidak pernah menjadi pendengar yang menarik (red; menyenangkan) untuk orang lain. Ayo! Coba inga’ inga’ lagi.. (sssssssst, jangan tanya padaku “gimana pendengar yang menarik itu?”..hehe)

Kalo kita berpikir bahwa mendengar dan didengar adalah kegiatan curhat-curhatan yang bersaudara dengan gosip-gosipan, sedarah dengan menangis dan kecengengan, sungguh! Itu tidak salah koq, hehe. Tapi percayalah, mendengar dan didengar lebih dari itu! Menangis itu hanya bagian cuil-il dari mendengar dan didengar. Tergantung kita mahu membawanya kemana. Anda harus percaya! Kita bisa didengar dan mendengar tanpa harus bergosip!

Eh, atu lagi, bukan hanya radio yang perlu didengerin. Tapi radio adalah satu bukti, bahwa kita butuh mendengar sekaligus ingin didengarkan. Maaf kalimat terakhir ditulis tanpa minta persetujuan anda.. hehe.

Jadi, berilah makan jiwa kita dengan menjadi pendengar yang baik. Sama seperti, berilah sesuatu jika ingin menerima. Ucapkanlah terima kasih jika ingin dihargai. Lakukan segala sesuatu lebih dulu sebelum kita ingin diperlakukan seperti itu. Betul.. betul.. betul. (ucapkan dengan cepat seperti Ipin mengcapkannya.. hehe)

Akuilah bahwa kita butuh didengarkan. Akuilah dengan cara yang baik. Akuilah dengan cara mendengarkan orang lain lebih dulu. Didengarkan bukan sebuah kelemahan.
Bila tidak ada yang mau mendengar kita, ingatlah! Setiap satu bunyi yang kita ucapkan malaikat pasti mencatat. Kalau kita merasa tidak ada yang mendengarkan kita, sungguh, suara hati kita pun masih diketahui isinya oleh Rabb kita. Begitulah, begitu sempurna ciptaanNya. Bahkan ketika kita merasa tidak butuh mengatakan sesuatu, secara otomatis Allah sudah mengetahui apa yang tersirat dalam hati kita. Begitu pedulinya Rabb kita dengan apa yang kita rasakan. Dan kalau sudah bagitu, maka doa-doalah yang akan memperdengarkan semua sesak itu. (Yakinlah, Allah pasti mendegar setiap keluh kita)

Setiap sesuatu adalah bunyi. Karena itu pertajamlah telinga batin kita, untuk kita juga. Banyak suara yang terdengar, tapi banyak juga maknanya yang hilang. Semua melalui telinga kita, tapi tidak semua harus nyumbat di sana. (pelajaran moral: pakailah cutton bud setiap hari..hehe)

Baiklah. Siaran saya sudah selesai. Selamat mendengarkan komposisi berikutnya! J

For my mom; mizz u, ampuni ananda... (sungguh tidak ada toleransi usia untuk didengarkan)
For my sisters; kita sedang sama2 butuh didengarkan. Keep fight! Keep istiqamah!
For my sob; terima kasih telah mengisi kekosongan ini
For all; (try to) luv u full!!!
For my self; semoga bisa menjadi pendengar yang di dengar juga.. (hehe)

Minggu, 01 November 2009

Nopember 1.. day to remembered

bismillah

bagaimana bisa lupa. hari ini setahun yang lalu, apa yang kami sebut mimpi; come true! subhanallah. banyak hal tidak terduga. alhamdulillah..

masih ingat ayam penyet green?? itu dia. hari ini, setahun yang lalu, kami memulaikannya di Aceh Green Cafe, lamnyong. Aceh Green Cafe, tepat di sebelah warung nasi Hasan lamnyong yang fenomenal itu (maaf kalo sedikit mendramatisir0..
yups! fenomenal, karena sekalipun berdampingan tapi kami punya pelanggan yang jauh beda, baik dari segi jumlah atau pun kelas pelanggan, hehe, itu kenyataan lho!

ya, begitulah.. semuanya terjadi, dan sekarang sudah di sini, sekalipun tidak dalam komposisi yang masih sama, tapi ayam penyet tetep berjaya.. amiin

tunggu cerita selesngkapnya yah!!!

Jumat, 30 Oktober 2009

ReHat

Ketika kendaraan itu tiba-tiba mogok, aku begitu ketakukan. Kalut. Tidak tau, tidak yakin apakah aku akan bisa melanjutkan perjalanan. Aku tak bisa membayangkan akan kah ada sebuah kendaraan lain yang sama persis bentuknya. Motor baru saja punya nomor polisi berbeda. Bagaimana mungkin ada sebuah kendaraan lain yang sama persis. Tidak mungkin.

Kukira, aku harus sebentar mogok dan rehat. Tapi aku tetap berpikir. Harus meneruskan rancangan. Memperbaharui pernis-pernis yang mengelupas karena waktu. Menunggu hati diperbaiki, bolehlah aku memetik beberapa melon yang tidak terlalu berasa tapi cukup menghilangkan dahaga ini. Di sana sebuah kota sudah menunggu. Aku melihat beberapa menara yang menjadi landmarknya. Begitu cantik. Gerbangnya selalu terbuka. Tapi untuk masuk butuh karcis juga. Beberapa karcis yang harus kukumpulkan sepanjang perjalanan ini. Beberapa mobil ‘hanya untuk berdua’ lewat. Dan aku bisa apa? Kecuali tersenyum dan melambai, dan pahit. Kendaraanku..., em, aku tak ingin mengatakannya ‘rusak’, tapi ia harus berhenti sejenak. Dan supirnya berhenti, mengatakan bahwa, bahwa... dia tidak cocok dengan persnelling, rem yang tidak pas, klakson yang tiba2 mati, lampu sen yang kadang-kadang tidak nyala, dan satu lagi, katanya warnanya norak..:D Aku bisa apa?

Mulanya aku ingin marah. Bahkan mungkin aku sudah marah. Mulanya aku kecewa, dan sekarang pun masih ada sakit itu. Mulanya aku tak bisa menerima, dan hingga sekarang pun aku belum yakin telah rela. Mengapa kendaraan ini harus rusak? Mengapa supir terbaik pilihanku harus..., harus meninggalkanku? Adalah pertanyaan-pertanyaan yang masih berteriak sekalipun di hadapan jawaban-jawaban yang telah pasti dan takkan berubah lagi.

Baiklah, mari kita ke bengkel terdekat. Aku perlu bertanya pada pak montir, perlukah aku mengganti oli..., eh maksudku mengganti sekalian kendaraanku??! Hmm, siapa tau? Di tengah jalan begini, mana ada yang jual suku cadang. Kalau ada pun, khawatirnya palsu. Begitulah...

Barangkali cuaca akan sedikit mengaburkan kota tujuan. Tapi itu tidak boleh berubah. Dan aku sendiri tidak tau, bisakah menuju kesana dengan kekuatan yang sama persis. Dengan semangat yang sama geloranya seperti dulu.

Pak montir memberi kabar, tidak ada supir sewaan dalam rentang dekat ini. Katanya aku harus mengemudikan kendaraan ini sendiri, untuk sementara. Lalu kukatakan, “kalau begitu, modifikasi saja kursinya yang sepasang jadi satu saja!”. Lalu dia tersenyum, dan mengatakan “Jangan begitu. Di sepanjang jalan akan banyak musafir. Mereka bisa siapa saja. Dan mereka sering butuh tumpangan. Mungkin ukuran jok ini tidak cocok untuk mereka. Tapi mereka akan nyaman jika kamu ikhlas. Dan yakinlah, pada kilometer yang tepat akan ada supir yang ditawarkan”.

“Tapi... sepertinya aku tidak bisa berbagi. Aku banyak bawaan. Banyak beban” sahutku tanpa bisa lagi menyembunyikan raut kesalku.
“Oya? Begitu ya? Kukira, kamu perlu melihat lagi beban bawaanmu. Kalau ada yang tidak perlu dibawa, tinggalkan saja di sana” dia menunjuk sebukit “yang entah apa”. Aku memicingkan mata, dan mencoba menangkap beberapa benda yang menumpuk membukit. Warna-warna mencolok dan tidak sedap di hati.
“Mereka yang sudah lewat banyak juga yang membuang beban di sana” dia diam, aku juga.
“Tapi engkau mungkin harus sedikit membayar” lanjutnya. Aku terkejut. Aku tidak punya banyak uang. Lagi pula, tidak masuk akal. Mengapa aku haru membayar untuk sesuatu milikku yang ingin kubuang. Sesuatu yang menurutku amat berharga. “Dunia apa ini?” batinku.
“Karena kami butuh ongkos untuk mendaurnya kembali. Dan mengembalikannya padamu pada kilometer yang tidak bisa kami janjikan sebagai bawaan yang lebih baik dan lebih bermanfaat” sambungnya, seperti sengaja menjawab tanya dalam hatiku.

Ragu-ragu, aku menuju kendaraanku. Dan aku serta merta menemukan beberapa warna yang hampir serupa dengan sejumlah warna di bukit “benda yang entah apa” itu. Ku comot satu-satu. Aku mengangkat tinggi-tinggi hingga aromanya, baru kusadari, begitu menusuk. “Menurutmu..., ini semua harus kubuang kesana?!” tanyaku pada pak montir itu.
“Sebaiknya begitu. Tapi tidak selalu harus begitu” jawabnya sambil menyentuh satu persatu bebanku.
“Semakin banyak yang engkau buang, semakin mahal bayarannya” dia menatapku dengan pandangan khawatir, dan aku mengalihkan mata pada bawaan warna-warni di tanganku.
“Tapi engkau bisa mencicil” sambungnya sambil tersenyum.
“Mencicil??! Gila, pikirku. “Dengan apa??!” sambungku cepat.
“Dengan infak, sedekah, ikhlas, itsar, qanaah, yang setingkat dengannya, atau yang lebih mahal...” jawabnya.
Aku menelan ludah. Aku baru sadar, tidak punya tabungan sebanyak itu.
“Tak usah khawatir, Engkau bisa mencicil sepanjang perjalanan” sahut pak montir.
“Tapi..., aku tidak tahu sepanjang apa perjalananku... bagaimana?” tanyaku.
“Yang penting Engkau terus berusaha melunasinya, begitu” jawabnya, masih di atas raut wajahnya yang teduh namun tegas.

Aku menghentakkan kepala. Mengerjapkan mata. Apakah mungkin membuang semuanya sekalian. Selain merasa masih butuh, juga sepertinya aku tidak punya cukup tabungan untuk membayar. Kesedihan, kekecewaan, kemarahan, rasa dikhianati, dan beberapa lainnya yang baunya mulai terasa menyengat di hidungku. Apakah harus kubuang semuanya??!

“Aku ingin membuang semuanya, tapi... sepertinya sulit sekali..., sulit sekali bagiku...” kataku kembali menatapnya.
“Engkau benar. Jika membuang itu semua begitu gampang, bukit itu sudah menggunung dan bengkel-bengkel berikutnya tidak lagi dibutuhkan...” katanya setengah tertawa.
“Buanglah sebagian, sisakan yang berat untuk kau tinggalkan. Dan pastikan Engkau cukup peka menciium baunya yang busuk dan membuangnya di bengkel berikutnya, ya!” sambungnya.

Brrrm.. brrrmm.. Suara sebuah kendaraan tidak jauh dari bengkel mengalihkan perhatianku dan pak montir. Sebuah kendaraan cantik, bukan selera semua orang, tapi setiap yang melihat pasti akan mengatakan itu indah. Dihiasi beberapa karangan bunga di sana sini. Pita-pita warna-warni. Beruntungnya.

Oh! Aku terkejut begitu kaca filmnya terbuka. Ada seorang supir di dalamnya. Dia tersenyum dan melambai kepadaku. Aku tidak bisa membalasnya, tanganku kaku. Aku juga tidak tau entah apa yang berkecamuk di pikiranku hingga aku tidak kuasa membalas senyum hangat itu.

Aku masih tercengang. Dan aku tau pak montir mengalihkan pandangan dari kendaraan itu dan beralih menatapaku.
“Suatu saat Engkau akan memilikinya. InsyaAllah!” katanya sambil menepuk bahuku. Tepukan yang menyadarkan bahwa aku masih menenteng beberapa bawaan yang niat kubuang.
“Ayo, aku temani kamu membuang semuanya” aku memutar tubuh dengan berat dan serta merta aku mengikutinya di belakang.

Aku berada di depan bukit “benda yang entah apa”.
“Lemparkan kuat-kuat bawaanmu itu!” pinta pak montir.
“Sekarang?” tanyaku berat.
“Iya, lakukanlah. Engkau tidak akan tau sejauh apa dan di mana bengkel berikutnya... “
“Tapi..., kukira aku bisa menemukannya sepanjang jalan...” bantahku.
“Memang, yang seperti itu banyak. Tapi mereka menjual suku cadang palsu. Premium yang dicampur. Perawatan yang tidak prima. Murah, tapi menipu” jawabnya.

Pipiku tiba-tiba terasa hangat dalam hujan yang gerimis dan angin yang dingin. Ternyata dua bulir air mata mengalir.

“Jadi aku harus membuangnya...?” tanyaku lagi meyakinkan. Pak montir itu tidak lagi menjawab. Aku semakin sesegukan dan air mata semakin deras. Kepalaku serasa hampir pecah dan darahku mendidih. Sekujur tubuhku terasa sakit seperti satu persatu buluku dicabut. Aku menutup mata dan mangatup rahangku kuat-kuat. Air mata itu masih mengalir dan aku merasa begitu tak berdaya seperti puasa dan tidak pernah berbuka. Kubiarkan saja air mata itu mengalir, sekalipun aku tau takkan habis sedih itu hari ini.

Ku buka mata, pak montir sudah tidak ada di sampingku. Kulempar kuat bawaanku. Namun beberapa warna lengket dan sisa di tangan dan bajuku. Sesegukan itu masih tersisa di tenggorokan dan hidungku.

“Sudah. Aku juga sudah mengisi kendaraanmu dengan premium. Oli terbaik juga sudah. Ban serap sudah diperbaiki” sebuah suara dari samping, pak montir, sedikit mengejutkanku.

Aku menarik nafas, berharap bisa merasa lega.

“Terima kasih” ucapku pendek.. Aku ingin berucap banyak, tapi serasa semua kata-kata tersekat di tenggorokan. Dia mengawalku ke kendaraanku pelan. Kaki ini serasa berat.
“Mulanya semua akan terasa berat dan tidak biasa. Ya, maklumlah, kendaraanmu kan lama tidak diservis” matanya mendelik kepadaku. Aku hanya diam, dia memang benar. Aku malu.

“Aku sudah berusaha memberi servis terbaik. Tau tidak, ternyata spedometernya juga tidak pas lagi??!” tanyanya. Aku tidak berniat menjawab. Rasanya malu, selama ini aku memang tidak terlalu peduli.

“Aku tidak bisa menjanjikan kau bisa mengemudikannya dengan lancar secepatnya. Juga tidak bisa mengatakan dengan pasti pada meter berapa kau akan merasa cocok dengan persneling, rem, klakson yang sudah kuperbaiki. Warnanya tidak perlu diubah, aku hanya menggosok dan menyiramnya. Warna itu cocok, dan hanya untukmu”

“Begitu ya?” tanya ku lesu. Dia mengangguk saja.

Terdiam, rasanya hanya ingin diam. Aku ingin merasa lega. Tapi aku khawatir banyak-banyak menghirup udara, karena sesak- kutahu- masih akan terasa di setiap hela nafas ini. Sesak yang selalu membuat ku merasa mual setelanya.

Bismillah.. beberapa helaan nafas. Masih ada sesak itu. Alhamdulillah, semakin banyak ruang kosong di hati, semakin lapang dan lega.

Aku hendak beranjak. Semburan nafas hangat melalui bibirku yang semakin kering, aku tidak sakit, tapi sangat melelahkan. Aku menoleh ke belakang, pak montir mengangguk. Senyumnya cukup untuk mengatakan “Ini memang tidak mudah. Tapi yakinlah, semua akan baik-baik saja.. lanjutkanlah perjalanan.”.

“Hati-hati..” katanya.
“Assalamualaikum..”

Lirih, jawabanku hampir hanya dalam hati. Rasanya masih berat untuk beranjak.
Berbalik, aku melanjutkan perjalanan.

Jumat, 23 Oktober 2009

Memahami Suatu Hubungan

sumber: perempuan.com

Seumur hidup kita berada dalam hubungan yang konstan. Yang paling nyata adalah keluarga, atau hubungan pribadi, tapi ada banyak hubungan lain yang tidak secara nyata meningkatkan kehidupan, meskipun menyatukan kehidupan bersama. Kita memiliki interaksi konstan terhadap benda hidup maupun benda mati.

Masing-masing dari kita memiliki sahabat yang berbagi bagian dari hidup bersama kita. Kenapa kita memiliki orang ini sebagai sahabat bukannya orang lain? Jawabannya cukup sederhana. Orang ini memberikan sesuatu yang kita butuhkan dan hargai. Mereka mengisi kebutuhan atau kekosongan dalam diri kita yang sebaliknya membatasi kepuasaan yang kita dapat dari kehidupan. Kebalikan yang persis benar karena ketika anda menerima keuntungan dari hubungan tersebut anda juga secara tak sengaja memenuhi kebutuhan dan keinginan dari orang lain.

Jadi, apakah hubungan merupakan jalan dua arah? Tidak juga. Bayangkan lemari yang berdiri di sudut dapur. Katanya anda tidak bisa memiliki hubungan dengan benda mati. Maka pikirkan keuntungan apa yang diberikan oleh lemari es pada hidup anda. Ini berarti anda tidak perlu membeli susu setiap hari, sehingga anda tidak perlu pergi ke supermarket setiap hari, jadi secara tidak sadar anda memiliki hubungan dengan sebuah benda mati. Susu didinginkan sesuai yang anda suka, sayuran akan tetap segar, dsb. Kehidupan baik-baik saja sampai lemari es rusak. Lalu anda mulai marah, frustasi, kecewa. Hubungan sudah putus.

Contoh yang konyol? Well, kita bisa memperbaiki hubungan dengan memperbaiki atau mengganti lemari es tersebut. Hal yang sama berlaku untuk apapun dalam kehidupan kita. Tapi setiap hubungan yang rusak mempengaruhi mood dan penampilan kita dan juga mempengaruhi hubungan lain yang kita miliki.

Setiap bagian dalam hidup kita dibangun diantara hubungan yang berubah secara konstan kecuali hubungan yang kita miliki untuk diri kita sendiri. Dan bagi kebanyakan dari kita hubungan ini terjebak dimasa lalu dan selanjutnya kita terjebak di masa sekarang.

Minggu, 18 Oktober 2009

Pemeriksaan Wajib bagi Wanita (1)

sumber: tabloidnova.com

Bagaimana mau cantik kalau badan penuh dengan penyakit? Nah, supaya kecantikan Anda juga memancar dari dalam, ada berbagai macam pemeriksaan yang harus kita lakukan secara rutin. Apa sajakah itu?

* Tekanan Darah
Ini penting untuk mendeteksi secara dini tekanan darah dalam tubuh Anda. Apakah tinggi atau kelewat rendah. Tekanan darah ditentukan oleh jumlah darah yang dipompa jantung lalu mengalir ke seluruh arteri. Arteri yang sempit membatasi aliran darah. Umumnya, jantung lebih banyak memompa darah karena makin sempitnya arteri.

Akibatnya, semakin keras pula jantung harus memompa jumlah darah. Semakin lama tekanan darah tinggi tidak terdeteksi dan tidak terawat, semakin tinggi risiko terkena serangan jantung, stroke, kerusakan ginjal, dan lainnya.

Pemeriksaan tekanan darah sebaiknya dimulai sejak umur 18 tahun, setelah itu sekurang-kurangnya 2 tahun sekali. Jika tekanan darah pada titik garis rawan, dokter akan merekomendasikan untuk lebih sering melakukan pemeriksaan tekanan darah.

* Kolesterol
Tes darah yang sederhana ini mengukur total kolesterol. Kolesterol terbentuk dari lemak lipoproteins yang ada di dalam aliran darah. LDL menyimpan kolesterol di dinding arteri sedangkan HDL membawa kolesterol pergi dari arteri ke hati untuk pembuangan.

Masalahnya, jika LDL menyimpan terlalu banyak kolesterol di dinding arteri atau jika HDL tidak cukup membawa pergi, akan mengakibatkan terjadinya kelebihan lemak (gumpalan) di dalam arteri. Jika tak diperiksa secara rutin, bisa menimbulkan serangan jantung dan stroke.

Sebaiknya lakukan pemeriksaan secara berkala, semisal setahun sekali dan semakin teratur saat usia sudah di atas 40 tahun. Dokter akan menganjurkan lebih sering untuk melakukan tes, jika hasil ukuran tampak tidak normal yang mungkin mengindikasikan penyakit tertentu.

* Payudara
Pemeriksaan dilakukan terhadap payudara dan ketiak. Akan dilihat apakah ada perubahan warna, pada kulit dan juga perubahan pada punting susu. Paramedis akan meraba payudara dan ketiak untuk mengecek apakah ada benjolan dan pembengkakan kelenjar getah bening Hal ini dilakukan untuk mendeteksi perubahan yang mencurigakan dan untuk mencegah kanker payudara

Lakukan tes/pemeiksaan klinik payudara (dengan cara meraba) dan juga mamografi setiap satu atau dua tahun sekali. Untuk mamografi, lakukan 1-2 kali setahun jika sudah menginjak usia 40 tahun. Lewat mamografi, bisa dideteksi adanya pengerasan yang kecil, yang sulit dideteksi dengan hanya melakukan pemeriksaan klinis. Pengerasan gumpalan kecil ini dapat menjadi stadium awal dari kanker payudara.

* Pap Smear
Dokter akan memasukan suatu alat ke dalam vagina untuk mengamati leher rahim Anda, kemudian dengan menggunakan sendok kecil, sikat atau kapas, dokter akan mengambil sel-sel dari leher rahim dan dari saluran yang masuk ke dalam rahim.

Proses ini hanya berjalan beberapa menit. Dokter akan menempatkan sel-sel tersebut menjadi preparat, atau ke dalam botol yang berisi cairan, kemudian mengirimnya ke laboratorium untuk diteliti lebih jauh melalui miksroskop

Tes ini dilakukan untuk mendeteksi kanker dan segala perubahan yang menyebabkan gejala kanker pada leher rahim. Anda berisiko lebih besar jika:
- Mempunyai sejarah keluarga yang menderita penyakit kelamin
- Berganti-ganti pasangan
- Memiliki sejarah keluarga yang mempunyai sel-sel abnormal di leher rahim
- Mempunyai sejarah keluarga yang berpenyakit kanker leher rahim
- Seorang perokok

Pap smear dianjurkan dilakukan sejak hubungan seks pertama atau bisa juga dimulai pada usia 21 tahun. Setelah itu dianjurkan sekurang-kurangnya untuk setiap 3 tahun sekali. Hal ini tak perlu dilakukan jika berumur 65 tahun atau lebih jika selama 3 kali berturut-turut hasilnya normal. Juga kalau rahim Anda sudah diangkat karena satu dan lain hal.

Jadilah Pendidik yang Baik

sumber: okezone.com

ANAK yang sukses merupakan dambaan orangtua. Kesuksesan diperoleh karena peran orangtua yang bisa mendidik anak agar tangguh dalam menghadapi rintangan di kehidupannya.

Cara yang paling tepat untuk meluruskan anak-anak harus dimulai dari perubahan sikap dan perilaku kedua orangtua. Lingkungan mempunyai pengaruh sangat besar dalam membentuk perubahan sikap dan perilaku seseorang, terutama pada generasi muda dan anak-anak.

"Yang terpenting justru adalah mendidik orangtua, baby sitter, bahkan guru, agar dapat memberi contoh baik yang selalu konsisten," ungkap Ketua High-Scope Indonesia Antarina S F Amir.

Sebaik-baiknya pendidikan yang diberikan di sekolah, jika di rumah orangtua selalu berlaku buruk, maka nilai-nilai positif yang sudah diajarkan akan sia-sia. Semua orangtua harus paham bahwa pendidikan bukan hanya tugas guru dan sekolah. "Pendidikan adalah urusan semua orang," tegas Antarina.

Sementara itu, praktisi Emotional Intellegence Parenting, Hanny Muchtar Darta Certified EI PSYCH-K SET dari Radani Emotional Intellegence Center mengatakan, sebagai 'pendidik', orangtua selalu berusaha memberikan pengajaran yang terbaik.

"Misalnya, mengarahkan si kecil untuk membuat keputusan yang benar dan positif karena ini bekal mereka di masa depan," ujar wanita yang mengambil pendidikan di Emotional Intelligence Six Seconds USA pada 2004 dan 2005.

Hanny menuturkan, di tahapan ini orangtua mengekspos keinginan anak tanpa memaksa. Orangtua tidak lagi memutuskan sesuatu hal atas keinginannya sendiri, melainkan mengajak anak untuk memilih dan mengarahkan keputusan mana yang akan diambil atau dipilih anak. "Keanekaragaman ini dimaksudkan untuk merangsang kerja otak anak," ucapnya.

Artinya, hal tersebut dimaksudkan supaya otak bekerja membangun jaringan baru karena rasa penasaran si anak untuk mencoba hal baru. Tentunya hal ini akan menghindarkan anak dari rasa bosan. Hanny mencontohkan, saat penyajian makanan misalnya, sang ibu bisa bertanya, "Sayang, kamu mau pilih yang mana?".

Dengarkan keinginannya dan hormati keputusan si kecil. Jika Anda berusaha menerapkan pendekatan ini secara konsisten, maka Anda akan merasakan hasilnya. Anak pun akan terbiasa mempunyai pilihan dalam hidup, belajar membuat keputusan, bertanggung jawab, dan mempertanggungjawabkan apa yang telah menjadi pilihannya.

"Belajar bertanggung jawab memang sebaiknya diajarkan sejak dini pada anak," ujar ibu dua anak ini. Selanjutnya, untuk merangsang anak melakukan kegiatan positif bisa dilakukan untuk memberi pilihan.

Mengutip dari Scott Brown dalam bukunya yang berjudul How to Negotiate with Kids, Hanny mengatakan bahwa hal itu bisa dilakukan melalui cara-cara yang lembut dan menyenangkan.

Dijelaskan Hanny, alangkah lebih baik jika mengajak seseorang bernegosiasi atau diskusi dengan Anda melalui sentuhan, termasuk dengan anak-anak. Saat orangtua menginginkan buah hati memperhatikannya, maka sentuh mereka dengan lembut dan sampaikan dengan tutur bahasa yang lembut.

"Alhasil, pesan-pesan yang Anda utarakan akan diterima dengan baik," tambahnya. Di usia 5-8 tahun anak sudah bisa mengemukakan pendapatnya dengan baik. Ajarkan anak untuk menentukan pilihan sendiri. Memainkan peran sebagai 'pendidik' yang baik, orangtua harus pandai memberikan pilihan-pilihan yang konkret sehingga mudah dimengerti anak, bukan pilihan-pilihan yang abstrak.

Membiasakan anak membuat pilihan dan memutuskan apa yang diinginkan akan memberikan mereka kemampuan membuat keputusan sendiri. "Seiring berjalannya waktu, anak akan mengerti bahwa keputusan yang dia ambil haruslah ada nilai plus-minus," ungkapnya.

Kelak anak akan mengolah pikirannya untuk melakukan pertimbangan-pertimbangan secara matang dan anak pasti akan memilih sesuatu yang memiliki sisi bagus untuk dirinya.

"Saat dia terjebak dan buntu dalam menghadapi masalah, dia bisa berpikir kreatif. Bahkan orang-orang di sekelilingnya pun ikut terbawa atmosfer positif yang dilakukannya," terangnya.

Saat Anda menerapkan peran sebagai 'pendidik', maka hal ini akan membentuk fondasi kepribadian yang kuat yang sangat berguna sekali untuk masa depannya. Fondasi ini akan mengantarkan anak untuk menjadi individu yang bisa diajak bekerja sama, berempati, dan percaya diri.

"Benih positif yang Anda tanamkan pada buah hati sejak mereka kecil akan menghasilkan sesuatu yang positif pula. Itu artinya, Anda lulus memainkan peran sebagai pendidik," tutup Hanny.

///

luar biasa ya.. ^_^