Sudah beberapa minggu ini tidak ketemu dengan MR dan temen-temen liqo-an. Rindu? Sedikit. Mengapa tidak banyak? Tidak tau kenapa. Ini kelompok baru untukku. Beberapa waktu lalu (tidak ingat kapan persisnya) ditransfer ke kelompok lain, untuk alasan tertentu pasti, tapi aku tidak pernah tau kenapa. Mengapa tidak tanya? Sudah. Kata temen mantan liqoanku, “kita husnuzhon saja”. Ok.
Usiaku tidak muda lagi. Mulai tarbiyah sejah mulai kuliah. Waktu itu langsung masuk kelompok yang dibuat di kos-an sama kakak kelas yang juga kebetulan satu fakultas. Hingga lebih dari tiga tahun liqo-an kami berganti terus. Mulai dari ganti-tambah personel, dan ganti MR pastinya. Tapi waktu itu liqo-an cukup menyenangkan. Sekalipun ganti MR, sekalipun tambah personel, sekalipun ganti personel. Ada juga personel yang dipindahkan ke kelompok lain. Hingga saat ini sudah empat MR. Em, tapi personel yang pernah sekelompok denganku, tidak terhitung.
Dulu, kalau tidak hadir ke liqo-an, rasanya rugi besar. Rasanya ada hal berharga yang lewat. Hal berharga itu tidak semata materi yang disampaikan oleh sang MR. Tapi setiap detik yang kita lewati bersama teman-teman untuk sahaja menghadirkan hati dalam jamaah kecil yang dengannya kita berharap mendapat ridhoNya. Rasanya beruntung memiliki waktu lebh kurang dua jam seminggu itu bersama mereka. Tidak tau bagaimana menjelaskannya, tapi kalau ingat sekarang, rasanya rindu dengan liqo-an yang dulu. Rasanya hikmah-hikmah itu bertebaran siap untuk dipungut dalam setiap untai kata-kata, setiap detik terlewati. Di sana kita berbaur karakter, dan mencoba saling menerima bahwa tidak setiap kita mendapat porsi perhatian yang sama dari MR, atau dari teman-teman yang lain. Di sana kita mencoba menerima, bahwa kita selayaknya mendapat sesuatu sesuai kadar kebutuhan kita. Ketika berlebih kita dapat bersyukur, ketika kurang semua berusaha untuk berlapang, bersabar. Masih ingat juga bagaimana keegoisan ketika “kabar-kabari”, setiap orang ingin menceritakan semua hal dalam waktu yang terbatas, dan ini jadi rubrik paling digemari setiap bulannya, sebagai indikator bahwa kita memang butuh untuk berbagi, butuh untuk didengarkan, butuh untuk mendengarkan.. J
Membagi liqo menjadi tiga tahapan, dulu-kini-nanti, akan menenmpatkan liqo masa dulu sebagai liqo yang gilang gemilang, khususnya buatku. Di kelompok yang dulu, bercampur di sana aktivis dari organisasi aneka rupa. Berbaur dengan teman-teman yang menempatkan prestasi akademis pada prioritas nomor satu. Juga ada teman-teman yang “biasa” saja, tapi sesungguhnya mereka luar biasa, sungguh luar biasa. Mereka standar dalam organisasi, tidak terlalu ketat dalam prestasi akademis, tapi umumnya sangat penurut. Mereka umumnya tidak terlalu banyak bicara kalau tidak ditanya. Mereka senang kalau bisa dapat perhatian dari MR atau temen-temen lainnya, tepi mereka malu untuk melakukan hal-hal yang menarik perhatian. Nilai kepedean mereka 50:50. Mereka butuh waktu untuk konfiden dan mulai berbagi dengan teman-teman se-liqo. Mereka punya keseharian luar biasa yang tidak nampak dari penampilan mereka yang tidak norak, malah kadang ABC. Mereka potensial, tapi tidak banyak yang tau. Tidak banyak yang tau kalau mereka juga berjuang dalam kebaikan dalam keseharian mereka yang seperti orang kebanyakan. Lembar amali mereka seringnya standar, kadang-kadang lebih baik. Kalau mereka tidak hadir liqo, itu pasti karena sakit, rumahnya terlalu jauh dan kendaraannya dipake anggota keluarga yang lain (dan memang rumahnya benar-benar jauh lho! Eg; montasik), membantu orang tua, dan sejenisnya. Melakukan seperti diminta. Mereka tidak banyak ceng cong. Luar biasa tsiqoh. Em, tapi tidak semua sich begitu, kebanyakan begitu.
Teman-teman aktivis, biasanya lebih grasah grusuh (hehe, pada umumnya seperti itu). Mereka tidak bisa diam, maunya bicara dan menyampaikan pendapatnya, menyuarakan solusi, atau sekedar lempar wacana n statemen. Mereka kritis, tapi kadang juga cerewet. Saking sibuknya dengan aktivitas, lembar amali mereka yang kemudian sering membungkam mereka. Duh, ini sisi yang ironi sebenarnya. Kalau mereka tidak datang ke liqo-an itu pasti karena rapat presidium, ada agenda fundrising, atau sekedar jaulah ke kampus orang. Pokoknya aktivis itu aktivitasnya nabrak-nabrak betol. Mereka punya keluhan mulai dari yang biasa sampai yang kronis seputar prestasi akademis mereka, tidak bisa menolak untuk memprioritaskan organisasi ketimbang kampus, sistem sks, dan sejenisnya. Kata-kata sang MR yang paling sering dilontarkan untuk mereka adalah “Bersabarlah, pertolongan Allah itu dekat. Allah pasti menolong hamba-hambanya yang menolong agamanya” dan taujih-taujih untuk mengatur waktu dengan lebih baik. Tidak tau apakah kemudian mereka benar-benar mencoba membagi waktu dengan baik, atau tetap berkutat dengan kesibukan yang melingkari mereka seperti obat nyamuk, yang membakari sedikit demi sedikit semester yang mereka lalui. Tapi mungkin, justru tekanan-tekanan itu yang menguatkan mereka untuk tetap bertahan, baik di liqo-an, maupun di organisasi. Mereka adalah tipikal yang selalu haus untuk berkeringat demi kebaikan (aku menyebutnya begitu, hehe). Panitia ini itu, demo-demo, lobi kesana-kemari, mabit, pergi pagi dan pulang sore atau mungkin malam baru ada di rumah lagi. Tapi aku yakin, perjalanan seharian seharian mereka tidak sekedar ngabisin bensin doank, insyaAllah.
Teman-teman yang mementingkan prestasi akademis, selalu punya banyak alasan ketika mereka diminta bantu ini itu di organisasi kampus. Mereka mandiri. Dalam lembar amali pun hampir selalu unggul. Mungkin diri mereka selalu diliputi semangat untuk berprestasi dalam segala hal, mendapatkan nomor kecil dalam setiap persaingan. Yang pasti, ilmu adalah motivasi terbesar mereka. Bagi mereka, waktu adalah tugas kuliah, pustaka, cari bahan di warnet, dan begadang untuk menyelesaikan tugas kelompok. Jadwal liqo’ kadang-kadang HARUS dirubah-rubah karena jadwal kampus mereka yang padat. Mereka seperti selalu berseteru secara dingin dengan temen-temen aktivis. Untuk para aktivis mereka berteriak dalam hati “untuk apa ngurusi urusan orang, urusan ndiri aja ga beres” (hoho, tentu tidak semua begini dan mungkin ini terlalu hiperbola). Dan para aktivis akan membalas dengan panas “egois! Lihatlah masih banyak amanah yang harus kita selesaikan ketimbang mengalokasikan semua waktu untuk tugas-tugas kuliah itu” (hehe, ini juga, terlalu berlebihan mungkin). Tapi pikiran-pikiran seperti itu memang pernah terlintas kan? Hayo ngaku? Hehe.
Sekalipun begitu, mereka tetap damai ketika sudah berkumpul. Rasa sayang itu tetap ada, apa lagi ketika majelis ditutup dengan doa penutup majelis dan doa rabithah. Rasanya, dalam beberapa detik itu; Aku mencintaimu karena Allah, sedihmu sedihku, sandalku sandalmu (pinjam maksudnya, hehe), kantongku kantongmu, dan sebagainya J. Tapi, dalam implimentasinya, memang begitu koq. Kalau ada yang kemudian tidak begitu, temen-temen pasti lupa, sedang futur, atau sedang terganggu dengan masalahnya sendiri yang lebih besar.
Itu hanya satu percik pelajaran dari liqo masa lalu. Masih banyak hal yang rasanya tidak habis ditulis sehari untuk kembali membangkitkan semangat tarbiyah tzatiyah masa kini yang luntur, atau sekedar mengenang dan bercermin tentang diri, dan memahami sepenggal perjalanan yang membekaskan pejaran yang amat banyak. Bercerita tentang perjalanan tarbiyah dulu, rasanya tidak ada habisnya. Kalau dulu ada yang bikin kesel, kalo di ingat sekarang malah bikin ketawa. Kalau dulu bikin marah, kalo dicerna lagi sekarang malah malu rasanya bisa marah dengan hal sepele begitu.
Tidak tahu sejak kapan, aku mulai menganggap liqo itu penting. Rugi rasanya kalau tidak hadir. Seperti ada serial yang hilang kalau tidak datang. Ada saja drama dalam tiap episodenya. Belum lagi epik dan kabar yang mengharu biru. Kalau dihitung-hitung, materinya Cuma 20 menit. Terlambat 15 menit. Tilawah 5-10 menit. Tausiah 10 menit, udah lama kali tu. Tapi kadang molor juga sampe setengah jam kalo tausiahnya ditugasi MR. Tapi kemudian banyak yang berubah, dari ku, dan dari liqoan ini. Aku yang sangat mencintai dokumentasi, tapi lupa untuk mencatat sejak kapan semuanya mulai berubah, pelan berubah. MR berganti, itu biasa. Teman-teman dipindahkan, juga biasa, tapi mulai bertanya. Teman-teman ditambah dari kelompok lain, biasa, senang. Satu persatu teman-teman lama dipindah, wah, semakin bertanya-tanya. Sisa beberapa dengan teman lama dan teman baru yang mulai akrab, mencoba menggapai-gapai suasana lama dengan acak dan tidak pasti. Hanya satu-dua teman lama, dan mereka pun mulai jarang datang karena kesibukan dan hal lain yang kita hanya boleh berhusnuzhon dengannya. Satu teman lama, banyak teman baru, banyak juga teman baru yang datang dan pergi, maka aku mulai- mulai berpikiran yang tidak-tidak. Mulai enggan, tapi tetap bertahan, tapi tidak melakukan apa-apa. Satu teman lama, teman baru yang sering tidak bisa datang, teman-teman baru yang datang silih berganti di setiap pertemuan, aku menerima, mengabur, dan pikiranku semakin picik, nauzubillah. Hingga akhirnya tinggal aku dan MR.. (teman-teman yang lain tidak datang karena berhalangan.. J). Dan tidak lama kemudian aku berganti MR..
Aku menyukai kelompok kecil, karena di dalamnya kita bisa belajar dengan lebih baik. Aku mencintai liqo ini karena hanya ini lah satu-satunya yang mampu mengikatku saat ini. Bagaimana pun sendiri itu lemah, tidak ada yang mengingatkan, tidak ada yang menguatkan. Karena itu aku tetap bertahan, karena aku ingin untuk tetap “teringat” dalam waktu yang sering aku lupa.
Beberapa pertemuan belakangan, aku tidak hadir, juga tidak ketemu teman-teman, tidak ada pertemuan. Aku merindukan liqo yang dulu, sekedar merindukan tidak membuat itu kembali, aku tau. Begitulah, kita akan merasa kehilangan ketika sesuatu telah tiada. Seperti perubahan orang kaya menjadi orang miskin, begitulah perumpamaan liqo ini. Aku tidak besyukur, tidak memelihara, dan kemudian masa-masa yang gilang gemilang itu dicabut dari diriku, dari diri kami.
Antara yakin dan tidak aku tetap melanjutkan liqo. HARUS. Aku memaksa diri ini yang mulai malas tanpa alasan yang jelas. Menenggelamkan kritik-kritik atas ketidakprofesionalan. Biarkan sekarang merakit lagi, sekalipun masa iskandar muda itu tak mungkin kembali, mudah-mudahan ada masa-masa lain yang lebih baik dari hari kemarin, untuk ku dan untuk kita semua yang “begini bentuknya” sekarang ini J amiin.
neng..aq suka gambar kantun akhwat memanahnya..krn 2 ari yg lalu baru aj di planing untuk nyari2 info untuk ikutan memanah di bawah jembatan lamnyong..
BalasHapusntik klo ada info..ato lu punya temen2 di bawah lamnyong yg gemar memanah bilang gw yoo...
saleum kangen...yona
kak uwis......mudah2an hari ne jadi kita bersua kembali..
BalasHapusamin Ya Rabb
tadi barusan bersih2 blog... n baru liat2 ada komen2 ini.. hiks :(
BalasHapusi m so sorry la..
jadi skr, masih pengen panahan kah???
lia: dah lama ga ketemu qt ya :)