Beberapa waktu lalu dapat tugas untuk program ultah. Bikin rekaman wawancara dengan tukang parkir. Jalan n jalan, memang ga susah temukan tukang parkir, tapi ga mudah untuk berhenti di sembarang tempat. Kami pilih-pilih tempat yang rasa-rasa rada mungkin orangnya untuk diwawancarai, dan rasa-rasa tempatnya ga terlalu rame. Akhirnya terpilih empat tempat. Toko ATK Sejahtera Gallery, parkiran Bank BCA, Serbana Swalayan, dan Swalayan PP Ulee Kareng. Kami berdua, aku dan lidya. Udah lama ga jalan-jalan n bikin wawancara begini. Dulu pernah, itu pun cuma beberapa kali, untuk program berbeda.
Aku, sekalipun sebenarnya tidak begitu menyukai pekerjaan lapangan, tapi selalu dapat menikmatinya dengan cara entah bagaimana. Selalu (rasanya) menemukan hal yang tidak terpikir sebelumnya, atau minimal teringatkan kembali akan hal yang telah lama terlupa.
Juru parkir yang pertama kami temui datang jauh dari sulawesi. Katanya selepas tsunami dia datang ke banda aceh untuk mengadu nasib, karena konon dan memang begitu, banyak pekerjaan waktu itu. Saking banyaknya, sekarang setelah program rehab rekon selesai pun banyak juga orang yang kemudian terpaksa memilih jadi pengangguran. Pak Muhammad namanya. Bliau menikmati pekerjaan itu. Mensyukuri penghasilan yang katanya memang pas dengan besarnya kewajiban yang dipikulnya sebagai tukang parkir. Ketika ditanya apa pesan-pesannnya untuk sesama tukang parkir, pak Muhammad menjawab “ya, sebagai tukang parkir, kita tetap sopanlah terhadap pemilik kendaraan, karena walau gimana pun kita kan dapat makan dari mereka juga”. Padahal banyak juga kan dari kita pura-pura ga liat tukang parki lah, yang nyelonong aja tak mau bayar parkir.. hehe, ayo ngaku!
Tukang parkir kedua yang kami temui, di depan bank BCA simpang lima. Duh, namanya lupa, tapi ternyata dia itu temennya lidya. Mulanya lidya sempat ragu-ragu mo nyapa. Tapi karena kejepit tugas, yah negur juga. Sedikit pembicaraan yang sempat ku kuping dari mereka berdua sebelum wawancara direkam:
lidya: eh, ____________ (nama si tukang parkir) ya? (lidya memastikan kalau itu memang mantan teman sekelasnya di smp dulu)
tukan parkir: iya, (sambil masih sibuk ngurusi kendaraan yang keluar masuk)
lidya: masih ingat qe ma aku? (tanya lidya setengah teriak ga peduli si tukang parkir begitu sibuknya)
Setelah kendaraan yang keluar masuk agak reda, mereka mulai berbincang dekat. Aku pun tak lagi mendengar apa yang mereka bicarakan seterusnya karena memang berdiri agak jauh dari situ. Tapi setelah wawancara selesai, lidya bilang kalau temennya itu tadi sebenarnya juga mengenal lidya, tapi tidak berani menegur duluan, kata lidya “mungkin karena dia merasa cuma tukang parkir, kalo negur trus kita cuekin, malu juga kan dia..”
Yup! lidya betul. pasti Ada perasaan begitu. Tapi siapa bilang menjadi tukang parkir itu pekerjaan rendahan. Masa hanya karena mereka bekerja di jalanan kita menganggap mereka “tidak pantas”, tidak semestinya begitu. Yang menarik adalah, ketika wawancara itu kuputar ulang di radio. Salah satu pertanyaan dalam wawancara itu adalah: punyakah mereka pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan selain menjadi tukang parkir? temennya lidya itu menjawab: ya, paling narik becak ini aja, ya menjadi orang tua lah...
Jawaban yang ku bold itu sengaja ku bold, karena itulah yang menarik dari tukang parkir kedua ini. Bayangkan, ada seseorang lelaki yang menyadari bahwa “menjadi orang tua adalah sebuah pekerjaan”, dan ia adalah seorang tukang parkir, yang barangkali sebagian dari kita memandang sebelah mata pekerjaan sebagai tukang parkir ini. Jangan bertanya sejauh mana temennya lidya itu memahami pekerjaannya sebagai orang tua.. yang penting adalah, si tukang parkir itu telah menyadarkan kita bahwa: menjadi orang tua adalah sebuah pekerjaan.
Jalan lagi sepanjang jalan Tgk. H.M. Daud Beureueh, kami tak temukan tempat yang bisa disinggahi. Melewati lampu merah Jambo Tape, baru lah kami singgah di Serbana Swalayan.
kata lidya: dya kenal dengan tukang parkir di situ.
aku: hah?! koq bisa? tetangga dya? tanyaku
lidya: mesti kali tetangga.. poko’nya kalo dya kesitu dya sering senyam-senyum ma bapak tu.. ehehehe..
aku: ho.. baeklah! jawabku manggut2 sok mengerti
Kami pun mampir. Sepi, tidak banyak kendaraan yang parkir disitu. Timpang dengan kondisi dua tempat parkir yang kami temui sebelumnya. Dengan alasan lidya kenal, secara alamiah maka lidyalah yang akan mewawancara bapak itu, tak perlu nego-nego. Seperti biasa, aku menjaga jarak, ecek-eceknya tak mahu mengganggu. Tapi akhirnya aku mendekat juga, penasaran pengen tau, kalo tunggu dengar rekamannya ntar terlalu lama. Di sela-sela wawancara kami itu, ada juga pemilik kendaraan yang kabur merasa tak parkir. Dalam rekaman yang kudengar kemudian, ternyata memang pendapatan pak Dahlan (nama bapak yang kami wawancarai itu) di depan swalayan ini tidak begitu menggiurkan. “setiap hari kami harus setor ke dinas 20 ribu. kalo hari hujan, malah harus nombok dengan duit sendiri karena yang datang belanja ga banyak”, begitu tutur pak dahlan yang kuperkirakan usianya sekitar 50 tahunan dengan kental logat acehnya.
Wah, kasian juga ya, ternyata yang merugi itu bukan hanya pedagang, tapi tukang parkir ada untung impas rugi- nya juga. Coba ingat-ingat ada berapa kali kita kabur karena ogah bayar tukang parkir? Sekalipun tidak semua tukang parkir nasibnya seburuk pak dahlan, dan memang tidak selalu begitu, tapi alangkah baiknya kalau kita tetap membayar jatah parkir yang cuma 500 rupiah untuk motor dan 1000 rupiah untuk mobil itu.. Mereka punya hak, dan kita jangan mendhaliminya. Tapi tukang parkir kan sering juga ambil tarif berlebihan..! Eits.. tahan dulu, kita bahas itu setelah yang satu ini, yah! ;). Kami tetap mendengarkan anda.. (hehe)
Nah, kami jalan lagi. Hampir sampai ke ulee kareng kami singgah di swalayan Pante Pirak Ulee Kareng. Kali ini tugas ku yang wawancara. Aku lupa nama bapak itu siapa. Bapak ini usianya antara usia temennya lidya tadi dan pak dahlan. Jadi sebenarnya masih cukup tegap sih. Dari posturnya cocok dengan tugasnya yang merangkap sebagai petugas keamanan khusus malam di swalayan ini. Sebelumnya bapak ini jualan rujak katanya, tapi kemudian ada yang nawari dia pekerjaan ini. Tidak heran kalau dia tergiur, karena di pekerjaan sebelumnya dia mengaku tidak punya prospek, trus di pekerjaan sekarang- ya jelas lebih prospektif: dapat gaji bulanan, jadwal kerjanya jelas, dengan seragam setengah petugas keamanan pun jadi kelihatan lebih gagah pastinya (hoho, alasan yang terakhir adalah tambahan dari ku ya, bapak itu tidak ngomong begitu koq! hehe). Ketika ditanya pesan-pesan untuk pemilik kendaraan, si bapak menjawab: “kami tidak minta banyak dari bapak. cukup bayar 500 untuk motor dan 1000 untuk mobil. kalo bapak ga mau bayar juga ga mengapa, cukup minta maaf aja. kami coba mengerti. karena kami bekerja, bukan mengemis duit dari bapak”, begitu... Jadi si bapak itu banyak menceritakan kasus-kasus pemilik kendaraan yang tidak mau bayar parkir karena mengira tukang parkir itu pekerjaan sosial yang tidak perlu dbayar, atau mengira tukang parkir ambil terlalu banyak karena tidak menyediakan kembalian, padahal tidak semua begitu. ada diantara kita yang juga berpikir begitu??
ketika siaran, wawancara itu dipotong-potong dengan narasi yang dibaca lidya.
barangkali kita memang sering dibuat kesal karena ulah tukang parkir yang secara pribadi meresmikan ongkos parkir 1000 untuk motor dan 2000 untuk mobil. Padahal, sampai saat ini belum ada ketentuan resmi dari dinas perhub sendiri yang menaikkan tarif parkir itu. Kita juga sering kesal karena banyak juga tukang parkir yang sengaja tidak mau sediakan uang kembalian. Dan lebih kesal lagi kalo ketemu dengan tukang parkir yang manyun dan sewot karena kita bayar parkirnya cuma 500 untuk motor. Dan semakin kesal kalau si tukang parkir teriaki kita karena ga bayar parkir!!! (yang terakhir, ada yang pernah begitu??! mudah2an tidak ya J)
Supaya damai, sediakan saja receh 500-an (untuk motor). Jangan memberi lebih kalo tidak ikhlas. Berikan uang pas kalo tidak berani minta kembalian. Kalo terlanjur tidak punya duit receh 500-an atau 1000-an untuk parkiran, jangan ragu untuk mencari pecahan dari duit besar kita. Ingat! itu hak mereka, menjadi tukang parkir bukan pekerjaan sosial! Kadang ada juga tukang parkir yang merasa dihina kalau kita membayar dengan duit yang agak “besar”. Trus, biasanya tukang parkir akan membiarkan si pemilik kendaraan pergi tanpa membayar. Mudah-mudahan tidak ada di antara kita yang dengan sengaja atau kemudian dengan sengaja menyodorkan duit besar yang kita punya dengan tujuan supaya tidak perlu membayar ya.. J. Trus, kalau terlanjur di motor atau di mobil, tapi sangat sangat kebetulan kita tidak punya 500-an, 1000-an, atau 2000, dan si tukang parkir juga tidak punya kembalian untuk duit besar kita, minta maaflah dengan sopan. Satu senyum kita untuk meminta izinnya tidak akan memecahkan duit besar yang ada di dalam dompet kita koq.. J. Bukan sedikit lho tukang parkir yang membiarkan kita pergi tanpa bayar karena merasa udah kenal, perasaan kenal yang bermula dari senyam senyum tadi itu. Tapi jangan pula kita jadi rajin senyum dengan tukang parkir sebanda aceh karena pengen parkir gratisan.. hahahaha. Intinya, jangan dengan sengaja menjadi *kampretebel lah.. :D
Oya, ada satu pesan dari tukang parkir untuk para pemilik kendaraan yang hampir lupa tersampaikan. Jadi, jangan pernah meninggalkan barang berharga menggantung di motor. karena para tukang parkir katanya cape’ jadi kambing hitam hilangnya barang-barang tersebut. Begitu juga dengan helm, cantolkan di tempat yang aman...
Kalau mereka melepas seragam dan duduk di warung kopi, mereka juga sama seperti kita. Seperti teman-teman kita juga, macem-macem karakternya. jadi, ya begitu.. hehe (bingung mo bilang apa lagi.. :D).
jadi terlalu panjang ya siarannya?? ga pa2 ya, yang penting kami mendengarkan anda.. J (hoho, maksa.com)
“bila bisa berdamai, mengapa harus memulai konfrontasi”
just try to pic a simple stuff for my self
keep listening! J
thanks to: (pake “thanks to” segala, kaya’ bikin album ajah! hehe)
para tukang parkir, dimana pun mereka berada
lidya, partner jalan2 yang asik ternyata, hehe..
pipit, sudah mengizinkan daku mengurus ini sebentar ;)
*pak david kisdi, istilah “kampretebel-nya” wis pinjam ya
Tidak ada komentar :
Posting Komentar