Sering sekali kita merasa sibuk. Seperti tidak cukup waktu 24 jam ini. Memang sebenarnya tidak cukup jika dibandingkan dengan banyaknya kewajiban dari amanah yang kita pikul, jika kita mau membuka mata hati.
Rasanya pikiran tidak bisa konsen ketika ada di kelas. Pikiran hanya kosong ketika menatap barisan-barisan tulisan yang semakin panjang dan membingungkan. Satu dua kata terbaca, tapi maknanya entah tertinggal dimana. Mengalihkan pandangan pada buku yang ada di pangkuan kukira akan berguna. Tapi semuanya bohong. Aku hanya mencoba mengalihkan kantuk dan pikiran-pikiran lain yang tak juga dapat menggantikannya. Mata ini ini tak dapat mengelak dari pandangan hati yang tak cinta. Tak dapat menipu.
Pena itu telah lama kubuang kurasa. Entah tertinggal dimana. Atau terjatuh dan aku lupa memungutnya kembali. Mungkin angin telah mengaratkannya. Mungkin hujan bermalam-malam telah menenggelamkannya dalam gulita.
Mungkin seseorang telah memungutnya dengan izinMu.
Segala sesuatu memang mungkin, tapi ini bukan diriku. Aku bisa mengenakan warna-warna yang menjadikan pelangi itu indah dimata kita. Tapi bukan itu pakaianku. Aku bisa memasuki labirin-labirin paling sulit dalam aljabar paling mematikan. Tapi aku telah tanpa sadar memutuskan untuk tidak meneruskan perjalanan. Persimpangan dulu telah membawaku jauh dan mengenalkanku pada apa yang kusebut ‘diriku’. Salahkah?
Dalam tidur aku berharap bisa segera meraih ini. Dalam jaga, terasa begitu melelahkan pertempurannya. Dalam kesibukan yang kuharap bermanfaat, sertaMu yang kuimpikan. Dalam waktu-waktu yang kuhabiskan tanpa namaMu, itulah lalai. Mengingatinya adalah penyesalan. Dalam 5 menit menghadapmu saja, aku tak khusyu. Apalagi benar-benar menyadari begitu dekatnya Engkau, lebih dekat dari urat leheku sendiri. Atau mengagungkanMu di arsy sana dikala kesombongan memenuhi rongga hati. Ketika ke-akuan merajai dan aku pun mengenakan pakaian yang tak pantas. Sungguh memalukan diri ini. Sungguh tak pantas.
Hidup ini sejenak, tapi aku begitu lalai. Waktu ini sebentar, tapi aku masih lupa bahwa kematianlah istirahat paling sempurna. Kesehatan ini begitu nikmat, tapi aku sering mengabaikan kebutuhannya, bahkan menjadikannya alasan untuk kelalaian yang lain. Betapa piciknya...
Aku lupa tentang, penerbangan terakhiku yang bukan dengan pesawat berkelas, melainkan keranda yang dipandu 4 manusia yang entah siapa. Aku lupa tentang bekal yang harus kukumpulkan dari sekarang dan harus kubawa, bukanlah harta dan uang yang banyak, melainkan amal dan ibadah yang benar dan ikhlas. Aku lupa tentang pakaian yang akan kupakai, bukan triset yang bergengsi, atau levis dan crocodile, atau eiger yang jumawa, tapi kain kafan saja. Aku lupa tentang siapa pelayan yang akan kubayar dan melayaniku nanti, bukan pramugari yang cantik dan bersahaja, tapi malaikat Munkar dan Nakir yang disediakan gratis olehNya.
Mungkin sekarang aku sibuk memikirkan bagaimana caranya menjejakkan kaki di Jepang, Eropa, dan Amerika, tapi bukan itu pendaratan sesungguhnya. Pendaratan akhir ku adalah pemakaman. Dan aku lupa juga tentang hal itu. Juga tentang rasa malu karena aku menggunakan pasport INA, yang terkenal dengan korupsi dan ilegal loging, tapi aku lupa bahwa nanti akan lebih memalukan ketika berpasport AL ISLAM pun aku masih patut dicecar dengan siksa. Aku juga lupa, tentang berapa lamanya visa yang bukan dua tahun, tapi di negeri akhirat visaku berlaku selamanya dan aku takkan mungkin pernah bisa kembali untuk sekedar berkata, ber-sms, atau menggunakan 3G dan mengatakan “Hai Dunia, apa kabar?”, atau “Aku ketinggalan kunci syurga”, atau “Minal Aidin wal faizin mohon maaf lahir batin atas segala hak-hak mu yang kucerabut dengan kedhaliman yang bersahaja”.
Aku lupa tentang hikmah yang harus kupetik dan makna yang harus kutinggalkan. Kewajiban menjadi ritual dan sunnah menjadi berat diraga. Jauh aku dengan wewangian orang-orang sholeh. Lalai aku mengoreksi kesalahan setiap sebelum beranjak tidur di malam hari. Aku lupa. Lupa.
Pengampunan itu dariNya. Hanya dariNya. Dunia ini miliknya dan aku menikmatinya. Kusyukuri dan semoga aku tidak menjadi kufur.
Berat terasa perjalanan ini, padahal aku melakukan semuanya hanya untuk diri sendiri.
Aku menutup buku ketika ada tanda-tanda kelas akan dibubarkan. Sekali lagi aku munafik, melakukannya dengan pelan, seperti aku enggan meninggalkan kelas yang memuakkan ini. Sekalipun sebenarnya aku memang enggan jika mengingat kekalahan dalam 2x45 menit yang mematikan segala kesombonganku. Sekiranya aku dapat memilih, tentu aku memilih untuk tidak berada disana, menambah satu setelah sekian banyak diantara kami yang berharap kelas ini tak pernah ada...
Kita memang sibuk dan waktu 24 jam memang tak cukup untuk semua hal yang menjadi beban amal kita. Sebentar lagi waktu sholat akan menjemput, dan aku ingin sekali dengan penuh sadar menghadapkan mata dan hati padaMu. Dan mengakhirinya dengan enggan. Dan meneruskan aktivitas dengan menyebut namaMu sebelum memulai segalanya. Dan mengenyahkan segala kuncup-kuncup riya, menanggalkan jubah-jubah kesombongan, mencuci bersih noda prasangka dalam setiap langkah kaki dan ayunan tangan. Dalam setiap huruf yang timbul ketika aku mengetik ini semua. Dalam setiap kesadaran yang muncul ketika aku membaca ini kembali.
Tolonglah ya Rabb. Tanpamu perjalanan ini takkan sampai pada tujuan, takkan berhasil sesuai harapan, takkan kan ada perjumpaan yang kami harapkan...!