KETIKA diminta memilih, bayi lebih suka bermain dengan karakter protagonis daripada karakter antagonis. Penelitian yang dilakukan para ilmuwan Yale University, AS, mengungkap, bayi berusia enam hingga sepuluh bulan ternyata sudah bisa membedakan orang berkarakter baik (protagonis) dan orang berkarakter buruk (antagonis).
Bayi bisa melakukannya tanpa perlu diajari karena bayi memiliki keterampilan untuk bertahan hidup (survival skill). "Kami sangat terkejut menemukan bahwa bayi memiliki survival skill ini. Bayi tidak perlu diajari karena keterampilan ini merupakan buah dari evolusi," tutur ketua tim peneliti Kiley Hamlin, ahli psikologi Yale University.
Dalam penelitian, Hamlin dan rekan-rekan menunjukkan boneka-boneka kayu bermata besar kepada sejumlah bayi. Ketika dilihat sepintas, boneka-boneka tersebut seluruhnya menyiratkan kesan sebagai tokoh jahat karena semuanya bermata buas. Selanjutnya, Hamlin menggelar pertunjukan mirip pementasan wayang golek (cerita boneka) di depan para bayi.
Bayi-bayi tersebut duduk dipangku orangtua masing-masing. Namun, orangtua tidak boleh melakukan interferensi. Artinya, orangtua tidak boleh mengatakan apapun kepada bayi selama pertunjukan berlangsung. Dalam pertunjukan, boneka-boneka tersebut berjuang memanjat sebuah tebing. Boneka-boneka itu memainkan tiga peran berbeda dalam pertunjukan.
Sebuah boneka berperan sebagai karakter netral yang berjuang sendiri untuk memanjat tebing. Boneka yang lain berperan sebagai tokoh protagonis yang membantu temannya memanjat.
Adapun boneka yang lain berperan sebagai karakter antagonis yang selalu menghalangi boneka lain memanjat tebing. Setelah pertunjukan usai, seluruh boneka yang terlibat pertunjukan disodorkan kepada bayi untuk dipilih sebagai teman bermain.
Hasilnya, sebanyak 80 persen dari bayi-bayi tersebut ternyata memilih boneka yang memerankan tokoh protagonis dan menghindari boneka-boneka yang memerankan tokoh antagonis. Dalam penilaian Hamlin, reaksi bayi-bayi tersebut membuktikan bahwa bayi bisa menilai baik atau buruk seseorang berdasarkan perilaku orang tersebut terhadap orang lain.
Untuk menegaskan kesahihan hasil penelitian pertama, Hamlin melanjutkan dengan penelitian kedua. Dalam pertunjukan babak kedua, boneka-boneka kayu yang digunakan pada pertunjukan pertama dipertemukan kembali. Boneka-boneka tersebut saling bersalaman. Bayi-bayi menunjukkan keterkejutan ketika melihat satu boneka protagonis mendekati boneka antagonis.
Reaksi tersebut menunjukkan bahwa bayi sesungguhnya mengetahui bahwa karakter-karakter antagonis harus dihindari. Hamlin rupanya belum puas dengan hasil kedua penelitian tersebut. Karena itu, Hamlin melanjutkan dengan penelitian tahan ketiga. Pada penelitian tahap paling akhir, bayi-bayi diminta memilih antara boneka protagonis dengan boneka netral.
Hasilnya, tetap saja para bayi tersebut memilih boneka protagonis sebagai teman bermain.Tidak ada perbedaan reaksi pada bayi laki-laki atau perempuan. "Bayi-bayi tersebut terbukti lebih menyukai karakter protagonis daripada antagonis dan mereka tetap memilih karakter protagonis daripada karakter netral. Ini merupakan bukti bahwa bayi yang belum bisa bicara ternyata bisa menilai orang lain berdasarkan perilaku orang itu terhadap sesama," jelas Hamlin.
Karena itu, orangtua harus lebih berhati-hati menjaga perilaku di depan anak. Para ilmuwan memperingatkan, pengalaman-pengalaman yang dirasakan anak sejak bayi berperan besar dalam pembentukan karakter anak hingga dewasa. Penelitian para ilmuwan Yale University tersebut bukan penelitian pertama terhadap keterampilan sosial yang dimiliki bayi.
Pada tahun silam, para ilmuwan Jerman melakukan penelitian terhadap bayi-bayi berusia 18 bulan. Penelitian tersebut mengungkap, bayi ternyata memiliki keinginan untuk membantu orang lain. Dalam penelitian itu, para ilmuwan menjatuhkan mainan di depan para bayi.
Bayi-bayi tersebut ternyata menunjukkan reaksi mengejutkan. Reaksinya, bayi-bayi tersebut berlomba-lomba sekuat tenaga mengumpulkan dan mengembalikan mainan-mainan yang dijatuhkan para ilmuwan. Namun, tidak semua ilmuwan sepakat bahwa bayi memiliki keterampilan sosial alamiah yang diperoleh dari proses evolusi. Ilmuwan yang menentang salah satunya profesor psikologi Florida Atlantic University David Lewkowicz.
Dia menilai, bayi-bayi tersebut memiliki keterampilan sosial dari proses pembelajaran, bukan insting alamiah. "Bayi memperoleh banyak sekali pengalaman sosial sejak lahir hingga usia enam bulan. Karena itu, sifat bayi sangat dipengaruhi pengalaman. Saya tidak sepakat jika bayi dinilai bisa memilih tanpa proses pembelajaran," tutur Lewkowicz.
Tim ilmuwan Yale University berupaya menjawab keraguan Lewkowicz dengan sebuah penelitian lain. Kali ini para ilmuwan Yale University menggunakan bayi-bayi berusia tiga bulan.
(sindo / / mbs)
Bayi bisa melakukannya tanpa perlu diajari karena bayi memiliki keterampilan untuk bertahan hidup (survival skill). "Kami sangat terkejut menemukan bahwa bayi memiliki survival skill ini. Bayi tidak perlu diajari karena keterampilan ini merupakan buah dari evolusi," tutur ketua tim peneliti Kiley Hamlin, ahli psikologi Yale University.
Dalam penelitian, Hamlin dan rekan-rekan menunjukkan boneka-boneka kayu bermata besar kepada sejumlah bayi. Ketika dilihat sepintas, boneka-boneka tersebut seluruhnya menyiratkan kesan sebagai tokoh jahat karena semuanya bermata buas. Selanjutnya, Hamlin menggelar pertunjukan mirip pementasan wayang golek (cerita boneka) di depan para bayi.
Bayi-bayi tersebut duduk dipangku orangtua masing-masing. Namun, orangtua tidak boleh melakukan interferensi. Artinya, orangtua tidak boleh mengatakan apapun kepada bayi selama pertunjukan berlangsung. Dalam pertunjukan, boneka-boneka tersebut berjuang memanjat sebuah tebing. Boneka-boneka itu memainkan tiga peran berbeda dalam pertunjukan.
Sebuah boneka berperan sebagai karakter netral yang berjuang sendiri untuk memanjat tebing. Boneka yang lain berperan sebagai tokoh protagonis yang membantu temannya memanjat.
Adapun boneka yang lain berperan sebagai karakter antagonis yang selalu menghalangi boneka lain memanjat tebing. Setelah pertunjukan usai, seluruh boneka yang terlibat pertunjukan disodorkan kepada bayi untuk dipilih sebagai teman bermain.
Hasilnya, sebanyak 80 persen dari bayi-bayi tersebut ternyata memilih boneka yang memerankan tokoh protagonis dan menghindari boneka-boneka yang memerankan tokoh antagonis. Dalam penilaian Hamlin, reaksi bayi-bayi tersebut membuktikan bahwa bayi bisa menilai baik atau buruk seseorang berdasarkan perilaku orang tersebut terhadap orang lain.
Untuk menegaskan kesahihan hasil penelitian pertama, Hamlin melanjutkan dengan penelitian kedua. Dalam pertunjukan babak kedua, boneka-boneka kayu yang digunakan pada pertunjukan pertama dipertemukan kembali. Boneka-boneka tersebut saling bersalaman. Bayi-bayi menunjukkan keterkejutan ketika melihat satu boneka protagonis mendekati boneka antagonis.
Reaksi tersebut menunjukkan bahwa bayi sesungguhnya mengetahui bahwa karakter-karakter antagonis harus dihindari. Hamlin rupanya belum puas dengan hasil kedua penelitian tersebut. Karena itu, Hamlin melanjutkan dengan penelitian tahan ketiga. Pada penelitian tahap paling akhir, bayi-bayi diminta memilih antara boneka protagonis dengan boneka netral.
Hasilnya, tetap saja para bayi tersebut memilih boneka protagonis sebagai teman bermain.Tidak ada perbedaan reaksi pada bayi laki-laki atau perempuan. "Bayi-bayi tersebut terbukti lebih menyukai karakter protagonis daripada antagonis dan mereka tetap memilih karakter protagonis daripada karakter netral. Ini merupakan bukti bahwa bayi yang belum bisa bicara ternyata bisa menilai orang lain berdasarkan perilaku orang itu terhadap sesama," jelas Hamlin.
Karena itu, orangtua harus lebih berhati-hati menjaga perilaku di depan anak. Para ilmuwan memperingatkan, pengalaman-pengalaman yang dirasakan anak sejak bayi berperan besar dalam pembentukan karakter anak hingga dewasa. Penelitian para ilmuwan Yale University tersebut bukan penelitian pertama terhadap keterampilan sosial yang dimiliki bayi.
Pada tahun silam, para ilmuwan Jerman melakukan penelitian terhadap bayi-bayi berusia 18 bulan. Penelitian tersebut mengungkap, bayi ternyata memiliki keinginan untuk membantu orang lain. Dalam penelitian itu, para ilmuwan menjatuhkan mainan di depan para bayi.
Bayi-bayi tersebut ternyata menunjukkan reaksi mengejutkan. Reaksinya, bayi-bayi tersebut berlomba-lomba sekuat tenaga mengumpulkan dan mengembalikan mainan-mainan yang dijatuhkan para ilmuwan. Namun, tidak semua ilmuwan sepakat bahwa bayi memiliki keterampilan sosial alamiah yang diperoleh dari proses evolusi. Ilmuwan yang menentang salah satunya profesor psikologi Florida Atlantic University David Lewkowicz.
Dia menilai, bayi-bayi tersebut memiliki keterampilan sosial dari proses pembelajaran, bukan insting alamiah. "Bayi memperoleh banyak sekali pengalaman sosial sejak lahir hingga usia enam bulan. Karena itu, sifat bayi sangat dipengaruhi pengalaman. Saya tidak sepakat jika bayi dinilai bisa memilih tanpa proses pembelajaran," tutur Lewkowicz.
Tim ilmuwan Yale University berupaya menjawab keraguan Lewkowicz dengan sebuah penelitian lain. Kali ini para ilmuwan Yale University menggunakan bayi-bayi berusia tiga bulan.
(sindo / / mbs)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar