Berita
di beberapa media lokal Aceh pada akhir April dan awal Mei seputar penutupan
kawasan rekreasi Ulee Lheu pada malam hari sedikit membuat saya merasa tidak
enak hati karena baru saja sekitar seminggu dari tanggal hari itu saya
mengunjungi kawasan tersebut dengan seorang teman (yang juga perempuan) untuk
menikmati waktu-waktu kami yang rasa-rasanya agak galau waktu itu. Kebetulan
kami karena saking galaunya maka merasa tidak cukup sekedar melihat sunset tapi
kami tambah lagi setelah sholat magrib di mesjid Baiturrahim dengan menikmati
suasana malam di pinggir laut nan sepoi anginnya itu.
Sekalipun
saya sendiri dalam perjalanan ba’da magrib menuju kembali ke arah pelabuhan
merasakan juga suasana yang kurang nyaman, kurang sehat, juga kurang kondusif
untuk kota yang katanya sedang kampanye wisata islami ini, namun saya juga
menyayangkan penutupan kawasan ini pada malam hari untuk area rekreasi. Beberapa
pemandangan yang tidak enak misalnya; ketika waktu beranjak magrib bahkan
ketika adzan sudah berkumandang namun pengunjung dan juga penjaja makanan di
area ini seperti tidak merasa wajib untuk lekas menunaikan ibadanya- ya,
sekalipun barangkali ada diantara mereka yang non muslim, atau katakanlah ada
kaum hawa yang sedang berhalangan tidak sholat, tapi kan tidak ada salahnya
juga menghormati orang-orang yang menunaikan kewajibannya. Hal
lain yang tertangkap mata saya adalah
adanya lokasi-lokasi tertentu yang sengaja ‘dibuat teduh’ untuk memanjakan
pasangan-pasangan non muhrim.
Terus,
dengan potensi ‘tidak baik’ yang
sedemikian itu mengapa pula saya masih menyayangkan penutupan kawasan sebagai
area rekreasi pada malam hari?
Coba
perhatikan, di sini setiap harinya berkumpul pedagang dari berbagai daerah di
kawasan Banda Aceh dan Aceh Besar yang menjual berbagai jenis penganan
sekalipun kalo dihitung banyak sekali yang berjualan produk sejenis tapi kalo
diperhatikan lagi sekalipun jualannya hampir-hampir sama tetap aja laku. Saya
sendiri jadi penasaran berapa pendapatan area ini setiap malamnya. Bayangkan
jika tempat ini ditutup maka itu akan memangkas waktu mereka untuk berdagang,
ya sekalipun saya juga menemukan bahwa ‘jam paling laku’ untuk pedagang-pedagang
ini adalah antara pukul 17.00 hingga pukul 18.45, atau katakanlah sekitar 15
menit sebelum magrib. Setelah jam tersebut biasanya pengunjung yang pada
umumnya datang dengan keluarganya akan bergegas ambil langkah pulang.
Mengenai
pedagang-pedagang di kawasan ini saya rasa masih banyak PR pemberdayaan yang
mereka butuhkan. Rata-rata pedagang di sini tidak menggunakan banner, kasian
kan kalau produknya enak pengunjung bingung harus mencari penjual itu kemana.
Beberapa lokasi juga terkesan dibiarkan seadanya dan tidak keliatan rapi
padahal sepanjang jalan menuju pelabuhan sudah demikian mulus dan juga lumayan
lebar. Seandainya saja setiap tempat itu perawatannya diperlakukan sebagaimana
‘muka kota’ yang akan disaksikan oleh setiap orang yang bertandang ke daerah
kita maka tentu tidak ada satu jengkal tanah pun yang sekiranya bisa merusak
pemandangan mata di sederetan view yang memukau itu. Dan saya pikir tidak ada
salahnya jika ada sebuah mushalla kecil sebelum pintu gerbang pelabuhan itu supaya orang-orang dapat mudah
menyegerakan sholatnya ketika adzan berkumandang, sehingga tidak ada alasan
malas memutar kendaraan kembali ke mesjid Baiturrahim yang kalo dihitung cukup
jauh juga dan macet menjelang magrib.
Jika
memang masyarakat di kawasan ini menutup tempat ini karena khawatir potensi
‘kerusakan’ akan menjadi lebih parah, bukankah seharusnya ini justru menjadi potensi
berikutnya yang dapat dikembangkan dari daerah ini? Hal ini justru menjadi
tantangan bagi siapa saja untuk kemudian menjadikan tempat ini sebagai kawasan
percontohan wilayah rekreasi islami. Jadi sekalipun dibuka malam hari maka yang
ada di sini tetap sehat dan kondusif. Sebenarnya kearifan masyarakat lokal
untuk menutup tempat ini karena semakin merajalelanya pemanfaatan tempat ini
untuk hal-hal yang tidak sehat patut diacungi jempol. Itu salah satu indikasi
masyarakat sudah siap dengan syariat yang sudah dicanangkan pemerintah itu.
Tinggal sekarang masyarakat juga ikut memantau jika memang pemerintahan
berkenan ‘menjadikan’ kawasan ini sebagai kawasan rekreasi islami.
Menurut
saya, membiarkan kawasan ini tutup pada malam hari sama nilainya dengan
pembiaran sejumlah kawasan rekreasi pantai di Aceh (terutama di Aceh Besar dan
Banda Aceh) tak terurus dan terbengkalai, sangat disayangkan.
Jika memang pemerintah kota menganggap wisata adalah salah satu komoditas dan potensi yang layak digarap semoga limit waktu untuk penutupan ini tidak dibiarkan terlalu lama, semoga lekas ada konsep yang jelas mengenai penerapan bandar wisata islami di kota Banda Aceh tercinta ini.
---
17052012-
22:58
*red. sedang belajar nulis opini ;)
setuju..dari dua sisi seh ici setuju/ Penutupan krn byknya hal2 y tidak baik di seputaran tempat iru jd faktor utama. tapi dr pada dititup..seharusnya peraturannya y di perketat. WH dan masyarakat kan bisa kerja sama u mengawasi... kalo ditutup sayang juga..
BalasHapusIya ci, ga hanya WH n masyarakat yang kolaborasi. tapi dari sisi pemerintah juga kudu punya konsep yang jelas soal bandar wisata islami ini
BalasHapuspadahal kan soal BWI ini bukan hal baru, tapi koq sampe tahun skr belum pun keliatan naga-2nya, yang ada tempat wisata makin banyak yang ditutup. bisa2 nanti banda aceh ini lebih mati dari pada masa konflik dulu