Eit! Jangan terkecoh dengan judulnya. Tulisan ini, seperti biasa, agak panjang, dan tidak to the point... untuk menarik perhatian dan memunculkan sensasi... hehe..
Ssst, rahasia, Key word: jika Anda sibuk baca bagian bergaris miring saja, itu intinya.
Ok, terima kasih :)
--------------------------------------------------------------------------
Tok tok! Assalamualaikum. Aku menunggu sejenak, berharap suara pintu berderit dan seseorang menjawab salam. Tapi ternyata tidak.
Tok tok tok! Assalamualaikum. Aku mengulangi, menambah satu ketukan pada pintu di depanku. Aku tahu, boleh masuk sesuka hati dan melakukan apa pun layaknya rumah sendiri. Tapi sepertinya aku kan sendiri. Karena, jangankan ada yang menemani untuk sekedar membaca posting-posting Pak Hizir, yang menyambutku saja hanya hening dari dalam sana.
Biasanya, pintu ini selalu terbuka. Di dalamnya, sekalipun tidak selalu gaduh dengan dengan ‘celotehan’ motivasi Yulia, kadang-kadang ‘cubitan’ kritikan Yona, atau ‘woro wiri’ informasi dari cut Elia.... beberapa waktu lalu, teman-teman juga bergantian mengantar resume bab-bab sebuah buku yang berjudul..., aduh, maap lupa...
Sebuah derit menjawabku ketika pintu itu kudorong kedalam. Beberapa posting berdebu, namun auranya tak memudar. Beberapa bahkan aku belum membacanya.
Berlinale, inilah salah satu tempat singgah berharga. Maaf, bila ungkapan ini berlebihan untuk sebagian teman-teman . Dari lorong pendek ini aku bisa melihat ke ruang tamu yang memungkinkan kita untuk mengisinya dengan berbagai cerita yang tak biasa dibagi seorang mahasiswa dengan dosen walinya. Sofanya hangat, dan beberapa kursi rotan dengan bantalan bermotif bunga-bunga melingkari meja porselen bundar dimana kita sering menaruh minuman kesukaan, sesuka hati.
Aku berjalan lebih ke dalam. Ruang tengah ini, sekalipun tidak luas, tapi tidak pernah terlalu sempit untuk ditempati kita semua. Sebuah jendela tetap terbuka menghadirkan pemandangan rerumputan, cemara, dan beberapa titik warna yang tidak teratur.
Aku menarik kursi dengan namaku, ada sebuah posting terbaru, tapi bukan hari ini, kemarin, atau, beberapa menit yang lalu. Tentang seorang ilmuwan indonesia di institut Max Plank Jerman yang berhasil menemukan planet baru Tw Hya B. Artikel ini pernah ku kutip dari kompas untuk progam ‘do you know’ Antero.
Sepi. Rasanya ingin segera cabut juga. Tapi..., agaknya baik juga bila meninggalkan sedikit jejak, toh selama ini aku hanya mengamat-amati saja.
Aku melongok ke dapur, sebuah kulkas masih tegak tepat setelah partisi kaca yang memisahkan ruang tengah ini dengan dapur. Berharap ada sebuah ‘pocary sweet’ di kulkas. Aku tidak terlalu bersemangat untuk membuat snack, sekalipun dapur Berlinale ini senantiasa berubah setiap orang dari kami mendatanginya... begitu fleksible.
Aku menemukan sebuah pocary sweet terakhir di kulkas. Sepertinya banyak yang menyukainya belakangan ini. Entah karena menghindari sakit. Atau tidak punya pilihan karena sudah lama tidak ada yang belanja minuman-minuman lain yang lebih sehat.
Aku kembali ke ruang tengah. Sebuah hela nafas, berat, bukan milikku. Milik kita. Tapi sebelum pergi, aku ada sesuatu yang ingin dibagi,
Kemarin pagi, 29 Januari 2008, aku ke jurusan, niatan bertemu dengan Bu Afnani.
Tau tidak? Aku ketinggalan final Analisis 2. Iya, sebagian pasti akan ber Oh, aduh, kacau, atau berkata ‘koq bisa?’, astagfirullah, dsb... memang itu semua ungkapan yang patut.
Bahkan ketika aku cerita ke salah satu teman di kajian kelompok, dia sampai beristigfar berkali-kali, menyesali kelalaianku. Mengerikan sekali.
Memang, sering sekali ada rasa kesal setiap kali selesai kuliah analisis. Sulit sekali memahami materinya. Selama 2 kali 45 menit mata kuliah ini, aku mengantuk selama 70% waktunya... memalukan sekali!
Jauh hari sebelum ujian, sudah minta diingatkan sama adik kelas kalo tiba waktunya bikin kartu ujian. Tapi yang namanya musim final, semua pasti pada punya banyak tugas, banyak beban ujian, dsb. Wajar kalo kemudian lupa mengingatkan ku kalo besok ujian...
Setelah meng-sms bu Afnani dan tidak ada balasan, aku menelepon sekitar 1 jam setelahnya. Dengan deg-degan, pasrah apapun semprotannya. Berharap pengalaman aktivitas sms-telp dosen yang memalukan semester lalu tidak terulang.
Alhamdulillah bu Afnani bisa ditemui jam 1 siangnya. Jujur aja, sebelumnya sudah setengah menyerah, karena kalau sampai tidak dapat kesempatan ikut susulan, bisa-bisa selesai dari matematika pun tahun depan. Analisis adalah mata kuliah terakhir ku dan kalau sampai harus mengulang, artinya mengulang di dua semester kedepan (alias tahun depan). Kalau sampai ini terjadi, terlalu besar derajat haluan yang harus diputar...
Setelah waktu makan siang, akhirnya aku menemui bu Afnani di ruangannya. Deg-degan? pasti. Bu Afnani bertanya sekali lagi mengenai kenapa aku sampai ketinggalan final. Aku menjelaskan, di sms sebelumnya pun aku sudah utarakan.
Bu Afnani bertanya apakah aku siap jika ujiannya sekarang? Jelas aku tidak siap. Karena sebelumnya aku justru sudah mempersiapkan diri untuk tidak dapat susulan, sekalipun jauh di lubuk hati aku berharap untuk dapat kesempatan lagi.
Tapi pertanyaan bu Afnani barusan itu adalah jawaban, bahwa aku masih punya kesempatan untuk final! Subhanallah!
Aku bahagia? Pasti! Aku bersyukur. Sangat bersyukur. Masih ada kesempatan di detik akhir yang menentukan... (karena memang selalu ada kesempatan jika kita tidak berhenti, sekalipun sekedar berhenti untuk berdoa dan berharap)
Aku tentu tidak tidak siap untuk ujian saat itu juga. Bu Afnani menawariku untuk ujian besok, Rabu jam 3. Aku langsung mengiyakan. Karena kupikir tidak sopan kalo aku menawar besoknya lagi. Sudah dikasih hati malah minta jantung. Bu Afnani kelihatan sedikit bingung dengan jadwal yang baru ditawarkannya, tidak tahu kenapa. Dalam hati aku terus berdoa, terus berdoa, supaya jadwal susulan ini masih dapat bergeser sedikit saja.
Dan akhirnya memang bergeser, menjadi Kamis jam 2. Alhamdulillah.
Jawaban itu seperti menerbangkan semua beban, menghapus semua kedongkolan ketika aku sulit sekali memahami materi-materi analisis 2, menghilangkan penat setelah beberapa jam nognkrong depan jurusan, meringankan langkah kaki untuk melakukan tugas-tugas berikutnya, menunjukkan padaku betapa banyak hal yang masih harus kulakukan setelah ini dan betapa semuanya tidak akan sulit.
Teman-teman, aku baru saja bertemu dengan seorang dosen yang baik hati... semoga Allah mudahkan urusannya... aku yakin, setiap dosen yang lain juga baik hati. Ketika ketika mereka ‘tidak tak’ peduli dengan kesumpekan seorang mahasiswa. Ketika mereka selalu menyediakan kesempatan, sekalipun itu sesuatu yang berat untuk diberikan. Ketika begitu sulit untuk memahamkan materi tetapi mereka tetap setia untuk mengajar. Allah pasti kan beri ganjaran setimpal. Amien.
Sebuah hal tak terduga tersisa, sebersit rasa bersalah menyelinap di hati... besok mentari akan memendarkan lebih banyak kearifan... bersiaplah untuk memungutnya...
Semoga Allah mudahkan urusan kita semua... amien.
Sekali lagi, terima kasih bu Afnani, untuk pengertian yang tiada habisnya, dan kesempatan tak ternilai.
Huff, lega rasanya!
Teman-teman, kapan kita ketemu lagi??
Kutinggalkan kertas dengan tulisan carut marut. Kugencet dengan vas bunga kaca berisi air. Setangkai melati hampir layu di dalamnya. Aku menyesal tadi tidak memetik setangkai bunga rumput untuk menggantinya.
It’s time to go.
Ups, aku baru menyadari, kalau ketika masuk tadi aku lupa menutup pintu depan. Pintu yang setengah terbuka itu membiarkan matahari sore masuk membekaskan jingga pada lorong-lorong yang gelap.
Sekali lagi aku melihat sekeliling... Baiklah Berlinale, teman-teman, semoga kita ketemu di kesempatan yang lebih baik.
Aku menutup pintu. Sebuah pita jatuh, dan akan selalu jatuh setiap orang keluar dari sini, di atasnya ada tulisan:
Ssst, rahasia, Key word: jika Anda sibuk baca bagian bergaris miring saja, itu intinya.
Ok, terima kasih :)
--------------------------------------------------------------------------
Tok tok! Assalamualaikum. Aku menunggu sejenak, berharap suara pintu berderit dan seseorang menjawab salam. Tapi ternyata tidak.
Tok tok tok! Assalamualaikum. Aku mengulangi, menambah satu ketukan pada pintu di depanku. Aku tahu, boleh masuk sesuka hati dan melakukan apa pun layaknya rumah sendiri. Tapi sepertinya aku kan sendiri. Karena, jangankan ada yang menemani untuk sekedar membaca posting-posting Pak Hizir, yang menyambutku saja hanya hening dari dalam sana.
Biasanya, pintu ini selalu terbuka. Di dalamnya, sekalipun tidak selalu gaduh dengan dengan ‘celotehan’ motivasi Yulia, kadang-kadang ‘cubitan’ kritikan Yona, atau ‘woro wiri’ informasi dari cut Elia.... beberapa waktu lalu, teman-teman juga bergantian mengantar resume bab-bab sebuah buku yang berjudul..., aduh, maap lupa...
Sebuah derit menjawabku ketika pintu itu kudorong kedalam. Beberapa posting berdebu, namun auranya tak memudar. Beberapa bahkan aku belum membacanya.
Berlinale, inilah salah satu tempat singgah berharga. Maaf, bila ungkapan ini berlebihan untuk sebagian teman-teman . Dari lorong pendek ini aku bisa melihat ke ruang tamu yang memungkinkan kita untuk mengisinya dengan berbagai cerita yang tak biasa dibagi seorang mahasiswa dengan dosen walinya. Sofanya hangat, dan beberapa kursi rotan dengan bantalan bermotif bunga-bunga melingkari meja porselen bundar dimana kita sering menaruh minuman kesukaan, sesuka hati.
Aku berjalan lebih ke dalam. Ruang tengah ini, sekalipun tidak luas, tapi tidak pernah terlalu sempit untuk ditempati kita semua. Sebuah jendela tetap terbuka menghadirkan pemandangan rerumputan, cemara, dan beberapa titik warna yang tidak teratur.
Aku menarik kursi dengan namaku, ada sebuah posting terbaru, tapi bukan hari ini, kemarin, atau, beberapa menit yang lalu. Tentang seorang ilmuwan indonesia di institut Max Plank Jerman yang berhasil menemukan planet baru Tw Hya B. Artikel ini pernah ku kutip dari kompas untuk progam ‘do you know’ Antero.
Sepi. Rasanya ingin segera cabut juga. Tapi..., agaknya baik juga bila meninggalkan sedikit jejak, toh selama ini aku hanya mengamat-amati saja.
Aku melongok ke dapur, sebuah kulkas masih tegak tepat setelah partisi kaca yang memisahkan ruang tengah ini dengan dapur. Berharap ada sebuah ‘pocary sweet’ di kulkas. Aku tidak terlalu bersemangat untuk membuat snack, sekalipun dapur Berlinale ini senantiasa berubah setiap orang dari kami mendatanginya... begitu fleksible.
Aku menemukan sebuah pocary sweet terakhir di kulkas. Sepertinya banyak yang menyukainya belakangan ini. Entah karena menghindari sakit. Atau tidak punya pilihan karena sudah lama tidak ada yang belanja minuman-minuman lain yang lebih sehat.
Aku kembali ke ruang tengah. Sebuah hela nafas, berat, bukan milikku. Milik kita. Tapi sebelum pergi, aku ada sesuatu yang ingin dibagi,
Kemarin pagi, 29 Januari 2008, aku ke jurusan, niatan bertemu dengan Bu Afnani.
Tau tidak? Aku ketinggalan final Analisis 2. Iya, sebagian pasti akan ber Oh, aduh, kacau, atau berkata ‘koq bisa?’, astagfirullah, dsb... memang itu semua ungkapan yang patut.
Bahkan ketika aku cerita ke salah satu teman di kajian kelompok, dia sampai beristigfar berkali-kali, menyesali kelalaianku. Mengerikan sekali.
Memang, sering sekali ada rasa kesal setiap kali selesai kuliah analisis. Sulit sekali memahami materinya. Selama 2 kali 45 menit mata kuliah ini, aku mengantuk selama 70% waktunya... memalukan sekali!
Jauh hari sebelum ujian, sudah minta diingatkan sama adik kelas kalo tiba waktunya bikin kartu ujian. Tapi yang namanya musim final, semua pasti pada punya banyak tugas, banyak beban ujian, dsb. Wajar kalo kemudian lupa mengingatkan ku kalo besok ujian...
Setelah meng-sms bu Afnani dan tidak ada balasan, aku menelepon sekitar 1 jam setelahnya. Dengan deg-degan, pasrah apapun semprotannya. Berharap pengalaman aktivitas sms-telp dosen yang memalukan semester lalu tidak terulang.
Alhamdulillah bu Afnani bisa ditemui jam 1 siangnya. Jujur aja, sebelumnya sudah setengah menyerah, karena kalau sampai tidak dapat kesempatan ikut susulan, bisa-bisa selesai dari matematika pun tahun depan. Analisis adalah mata kuliah terakhir ku dan kalau sampai harus mengulang, artinya mengulang di dua semester kedepan (alias tahun depan). Kalau sampai ini terjadi, terlalu besar derajat haluan yang harus diputar...
Setelah waktu makan siang, akhirnya aku menemui bu Afnani di ruangannya. Deg-degan? pasti. Bu Afnani bertanya sekali lagi mengenai kenapa aku sampai ketinggalan final. Aku menjelaskan, di sms sebelumnya pun aku sudah utarakan.
Bu Afnani bertanya apakah aku siap jika ujiannya sekarang? Jelas aku tidak siap. Karena sebelumnya aku justru sudah mempersiapkan diri untuk tidak dapat susulan, sekalipun jauh di lubuk hati aku berharap untuk dapat kesempatan lagi.
Tapi pertanyaan bu Afnani barusan itu adalah jawaban, bahwa aku masih punya kesempatan untuk final! Subhanallah!
Aku bahagia? Pasti! Aku bersyukur. Sangat bersyukur. Masih ada kesempatan di detik akhir yang menentukan... (karena memang selalu ada kesempatan jika kita tidak berhenti, sekalipun sekedar berhenti untuk berdoa dan berharap)
Aku tentu tidak tidak siap untuk ujian saat itu juga. Bu Afnani menawariku untuk ujian besok, Rabu jam 3. Aku langsung mengiyakan. Karena kupikir tidak sopan kalo aku menawar besoknya lagi. Sudah dikasih hati malah minta jantung. Bu Afnani kelihatan sedikit bingung dengan jadwal yang baru ditawarkannya, tidak tahu kenapa. Dalam hati aku terus berdoa, terus berdoa, supaya jadwal susulan ini masih dapat bergeser sedikit saja.
Dan akhirnya memang bergeser, menjadi Kamis jam 2. Alhamdulillah.
Jawaban itu seperti menerbangkan semua beban, menghapus semua kedongkolan ketika aku sulit sekali memahami materi-materi analisis 2, menghilangkan penat setelah beberapa jam nognkrong depan jurusan, meringankan langkah kaki untuk melakukan tugas-tugas berikutnya, menunjukkan padaku betapa banyak hal yang masih harus kulakukan setelah ini dan betapa semuanya tidak akan sulit.
Teman-teman, aku baru saja bertemu dengan seorang dosen yang baik hati... semoga Allah mudahkan urusannya... aku yakin, setiap dosen yang lain juga baik hati. Ketika ketika mereka ‘tidak tak’ peduli dengan kesumpekan seorang mahasiswa. Ketika mereka selalu menyediakan kesempatan, sekalipun itu sesuatu yang berat untuk diberikan. Ketika begitu sulit untuk memahamkan materi tetapi mereka tetap setia untuk mengajar. Allah pasti kan beri ganjaran setimpal. Amien.
Sebuah hal tak terduga tersisa, sebersit rasa bersalah menyelinap di hati... besok mentari akan memendarkan lebih banyak kearifan... bersiaplah untuk memungutnya...
Semoga Allah mudahkan urusan kita semua... amien.
Sekali lagi, terima kasih bu Afnani, untuk pengertian yang tiada habisnya, dan kesempatan tak ternilai.
Huff, lega rasanya!
Teman-teman, kapan kita ketemu lagi??
Kutinggalkan kertas dengan tulisan carut marut. Kugencet dengan vas bunga kaca berisi air. Setangkai melati hampir layu di dalamnya. Aku menyesal tadi tidak memetik setangkai bunga rumput untuk menggantinya.
It’s time to go.
Ups, aku baru menyadari, kalau ketika masuk tadi aku lupa menutup pintu depan. Pintu yang setengah terbuka itu membiarkan matahari sore masuk membekaskan jingga pada lorong-lorong yang gelap.
Sekali lagi aku melihat sekeliling... Baiklah Berlinale, teman-teman, semoga kita ketemu di kesempatan yang lebih baik.
Aku menutup pintu. Sebuah pita jatuh, dan akan selalu jatuh setiap orang keluar dari sini, di atasnya ada tulisan:
Danke for coming...
Sabe-sabe kunjong Berlinale!
Welcome at anytime
... yang menenangkan hati.Sabe-sabe kunjong Berlinale!
Welcome at anytime
--------------------------------
Kemanapun kita melangkah, apa pun kesibukan kita, selelah apa pun jiwa dan raga kita, jangan lupa, ‘sajadah panjang’ adalah persinggahan paling tepat, senggang yang menenangkan, peristirahatan yang sempurna...
Midnight, 2:06, January 30th 2008
Tidak ada komentar :
Posting Komentar