Aku lupa itu ramadhan ke berapa, tapi kejadiannya pada tahun sebelum tsunami itu. Jadi, setelah ku ingat ingat sudah cukup lama juga aku tidak makan serat. Tapi ini sudah hampir akhir bulan, kalo beli bukaan paling tidak hanya nasi bungkus, atau beli lauknya saja, nanti nasinya masak sendiri di kost-an. Dengan berbekal uang paling sedikit diantara kami bertiga aku pede melangkah ke simpang galon membeli sebungkus gado gado, demi hak badan yang sudah lama tidak tunai. Diantara sekian banyak jenis makanan yang bisa dibeli, kami pun jadi bingung. Bukannya bingung ”bli yang mana ya..?”, tapi bingung karena ”pengen beli semua, tapi duitnya cuma cukup tuk beli satu..”, hehe.
Aku sudah mantapkan hati ku pada gado gado. Mata dan bahasa tubuhku sudah kukunci mati pada rak gado gado, dan tak bisa dipindah pindah lagi. Salah satu teman nyeletuk ”wah, pengen juga ya gado gado..”. Tapi si teman itu tidak beli gado gado koq, karena dia juga telah mengunci mati mata dan tubuhnya pada mi caluk yang kebetulan berseblahan dengan gado gado itu. Mulanya akan beli dua, tapi ketika kurogoh saku, hanya cukup untuk satu setengah bungkus. Padahal maksudku, kalo bisa beli dua tentu bisa berbagi nanti dengan teman teman yang bukaannya juga beda beda, kantongnya pada kering tapi pengennya macem macem, hihi.
Kami pun pulang membawa bungkus bungkus bukaan yang beda beda isinya. Sesampai di kost-an, langsung masuk kamar masing masing. Tapi aku masih teringat dengan celetukan tadi, selebihnya karena aku tahu kami semua kurang sekali seratnya. Ku ambil dua mangkuk kecil. Kubagi dan kubagi, terlalu sedikit tidak akan ada gunanya (setiap hari kan mestinya kita makan minimal 30 gram serat, ya kan..?), tapi kalo banyak, nanti aku makan apa dong? Kubagi dan kubagi, hanya sisa beberapa potong tahu, dan lembar selada yang sudah suwir. Tapi aku puas melihat kedua mangkuk yang menjadi cantik karena gemuk isinya. Hati menggerutu, ”kenapa tadi tidak beli pecal saja, kan sayur hijaunya lebih banyak..”. Ah, sudahlah. Waktu berbuka kurang dari setengah jam lagi, jadi kuantar segera kedua piring gado gado itu kepada ”pemilik”nya. Mereka senang dan aku pun puas.
Kembali ke kamar, sejumput sisa gado gado bercampur bumbu kacang ku biar tetap dalam bungkusnya, terbuka, menunggu tuannya. Hati ini meringis, tapi tidak lama, pletak rice cooker yang tandakan nasiku tanak mengagetkan seisi hati ini, tidak boleh menyesal. Selagi ruang dalam rice cooker masih hangat, kumasukkan cangkir air putih, beberapa menit lagi aku bisa menyeduh susu coklat sachetan kiriman dari kampung. Iya, sampe sekarang pun susu sachetan masih dikirim dari kampung, termasuk kadang telur ayam, dan juga telur mata sapi.. hee. Seolah olah, barang barang semacam itu tidak dijual di banda aceh ini.. hehe.
”samlekom... samlekom..” dua kali salam itu disahut cepat cepat, tidak sabar menunggu jawab dari empunya rumah. ”aleikumsalam..” jawabku, suara salam bariton mendekati kamarku. Aku melongokkan kepala. Diluar, seorang lelaki berhelm menenteng kardus mi instant kelihatan agak terburu buru. Aku tau dia, dia juga tau diriku. Ini kurir yang biasa mengantar kiriman dari kampung.
”ada kirimian ya bang..?” tapi sebelum pertanyaan itu keluar dari mulutku seluruh raga ini sudah suka cita, betapa pelupanya aku hingga tidak ingat sedikitpun bahwa hari ini aku dapat kiriman dari kampung. Hoh, betul. Sekarang aku ingat, ada satu sms tadi pagi dari emak, katanya: ”hari ini mak kirim makanan ya, tapi ga banyak, cuma bla.. bla..” begitulah kurang lebih, hee. Apa pun isinya, kiriman dari kampung selalu membuat ku tak sabar tuk membukanya.
”tanda tangan di sini ya..”
“oh, iya iya” segera ku teken nota kecil sebagai tanda aku telah menerima kiriman itu dengan selamat. Dan tidak lupa ku kukatakan terima kasih pada lelaki kurir yang kelihatannya terburu buru karena waktu berbuka sudah dekat.
Huft! Di luar lengang. Anak-anak pada masuk kamar menuggu waktu berbuka. Jadi selamatlah wajah ku dari memerah karena di serbu godaan yang menggombali kardus kirimanku ini, hehehe.
Tali temali warna hitam segera ku potong di sana sini supaya lebih cepat aku dapat melihat isi kardus itu. Lupa aku bahwa temali itu kalo dipotong di satu titik tentu talinya bisa dipake lagi nanti, aih- pokoknya aku tak sabar. Berdebar, tidak tau apakah karena lapar atau karena penasaran dengan isi kardus mie instan ini, hehe. Sejujurnya, aku tidak ingat persis apa isi kardus itu. Kardus yang tidak dalam itu, yang hanya butuh beberapa menit untuk membongkarnya. Yang aku ingat, ada gula putih, susu sachetan, nasi putih, tempe goreng, telur ayam, telur mata sapi, saos botol, dan beberapa lauk yang membuatku serasa buka puasa di awal bulan.. dan ada satu bungkusan yang begitu istimewa hari itu. Dibungkus dalam plastik gula dilapis dua. Sangat sederhana. Taukah? Sebungkus sayur bayam lah yang membuatku tak bisa melupakan hari ramadhan itu. Sayur bayam yang full kesukaan ku. Bukan sayur bayam di warung warung yang cuma selembar dua isinya. Sayur bayam yang banyaknya kalo ku takar takar cukup untuk makan bertiga, tapi kalau untukku itu sekali makan sahaja, heee. Aku menimbang, mengelus, berseru syukur tak habis habis, sekalian juga tak habis pikir; koq bisa ya? Begitu cepat balasan itu Rabbi. Tak akan kulupakan. Sungguh tak bisa kulupakan..
Hari itu, ada ”sesuatu” yang kurindukan hari ini. Madu nian.. :D Terima kasih emak. Terima kasih Ya Tuhanku
Ku angkat cangkir dari rice cooker, kuseduh susu coklat sachetan dari kiriman sebelumnya yang tinggal beberapa bungkus lagi. Terburu-buru, karena suara mengaji sudah ’sadaqallahul adhim”.. sementara isi kardus ku biar berserak dulu membentuk hampir setengah lingkaran di depan ku.
*maaf bila judulnya berlebihan.. :p
”memanaskan kembali air isi ulang sebenarnya tidak boleh ya? tapi waktu itu bandel, tetap aja dilakuin.. :|
--------------------
bisa juga dibaca di Serat dari Surga