Chocolate Covered Sesame Balls

Jumat, 28 Maret 2014

Si Uroe Breuh

Jadi pada suatu siang bolong beberapa hari yang lalu saya memang harus ke bank untuk nitipin giro. Sepulangnya saya ambil jalan pintas dari jalan tepi kali sungai Lamnyong itu. Mendekati persimpangan empat tembus Alue Naga, biasanya disitu banyak nyak-nyak yang jualan tiram dan kepiting. Sejak beberapa hari lalu memang mau beli tiram, kak Atik katanya pengen tiram masak Aceh. Tapi karena dalam minggu kemarin hampir full lembur audit keseringan pulangnya kesore-an kadang kemalaman jadi beli tiramnya pending melulu..

Maka sepulang dari bank hari itu saya paksakan diri stop di depan salah satu lapak jualan tiram yang ada di sekitar sana.

Saya mulai bertransaksi dengan si ibu penjual tiram. Tanya harga, saya juga tanya kenapa tiramnya besar-besar begini. Eh si ibu malah bilang kalau itu yang paling kecil, biasanya lebih besar dari itu.. ketauan deh jarang beli tiram.. *tengsin

Selang setengah menit terdengar suara ramai dari arah jalan Laksamana Malahayati. Saya ga begitu tertarik memperhatikan, masih lebih menarik menimbang-nimbang bungkus tiram yang akan saya bawa pulang. Sampai si Ibu bertanya sama saya;

Ibu penjual tiram: neuk, nyan pu partai nyan neuk bendera lage nyan..? (Nak, itu partai apa namanya yang benderanya seperti itu?). Rasa ingin tau mengerutkan keningnya lebih rapat, menimpa-nimpa keriput yang lebam dibakar matahari.

Saya menoleh ke arah jalan yang dimaksud. Separade kendaraan sedang lewat. Badan kendaraan penuh bendera, orang-orangnya di atasnya juga melambai-lambaikan bendera yang sama. Biru. Sebenarnya saya agak sangsi itu bendera partai apa yang punya, lambai-an angin yang lumayan kencang membuat gambarnya sulit dikenali. Saya menyebut salah satu nama partai yang agaknya diwakilkan oleh bendera tersebut. Ibu itu diam tidak menimpali apa-apa. Matanya masih memperhatikan parade kendaraan yang syukurnya ga terlalu panjang itu.

Ibu penjual tiram: kop lee ka awaknyan, hana meu ta turi pileh pih le (sudah banyak sekali sekarang partai-partai, ga tau kita mau pilih siapa lagi).

Saya iseng bertanya; nanti ibu pilih siapa bu..? Tanggal 9 kan bu hari pemilihannya. Saya memilih dua bungkus tiram yang harganya masing-masing 10 ribu rupiah.

Ibu penjual tiram; hom hai neuk, adak tajak tak chob nyan hana sit jibri peng meu siploh ribee pih, adakna kajeut ta blo breuh keu si uroe. ( Entahlah nak, sekalipun kita datang untuk mencoblos enggak juga dikasih duit walaupun cuma sepuluh ribu, kalau lah ada lumayan juga bisa untuk beli beras sehari).

Saya speechless. Dalam seperskian detik itu saya mikir harus jawab apa. Kasian sekali ibu ini hanya berharap sebambu beras dari sehari pencoblosan itu. Agaknya tak paham dia bahwa lima tahun kedepan kita semua dapat lebih sengsara hanya karena salah coblos di beberapa detik itu. Mereka yang berpikirnya sederhana, memenuhi kehidupan dari hari ini ke hari esok. Mereka tidak sempat bahkan mungkin tidak mengerti untuk memikirkan nasibnya lima tahun kedepan.

Saya tidak menemukan jawaban yang tepat. Semua tersekat dikerongkongan. Tetiba saya berpikir untuk menyarankan partai yang nantinya akan saya coblos, tapi urung karena orang-orang yang 'selling' itu biasanya pasti bawa merchandise sekalipun cuma selembar kalender. Saya juga mau rasanya bilang kalo ibu itu harus tetap nyoblos karena pilihan sehari itu ampuhnya sampe 5 tahun, tp ga jadi karena saya terpikir siapa nanti yang akan anterin beras sebambu ke rumahnya sebagai kompensasi ibu itu tidak bisa mencari tiram karena harus ngantri di TPS..

Sembari memasukkan bungkusan tiram yang saya beli ke dalam kresekan bekas ibu itu masih berkomentar patah-patah soal 'coblosan', dan sampai menit kesekian saya masih bungkam, menyembunyikan- lebih tepatnya tidak tau saya bagaimana caranya menyampaikan apa yang seharusnya ibu itu ketahui sebatas pengetahuan saya yang cetek soal 'memilih' ini..

Si Ibu menyerahkan uang kembalian saya. Bisa saja sebenarnya saya bilang "bu, ambil aja kembaliannya gpp. Ibu nanti hari pemilihan nyoblos ya bu ya, bla bla bla.." tapi entah kenapa saya juga tidak melakukan itu.

Saya pamit, dan perbincangan singkat siang itu dengan ibu penjual tiram menyisakan kelebat yang menggalaukan pikiran.

Setiap saya melewati lapak ibu penjual tiram itu ada rasa bersalah, rasa-rasa saya ingin mampir untuj sekedar menejelaskan apa yang saya tau. Tp saya tidak punya cukup nyali bahkan untuk melakukan hal sederhana begitu.

Semoga kita Dianugerahi pemimpin-pemimpin seperti Umar.. aamiin.

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Belakangan hari-hari di kantor rasanya super penat. Kadang pagi-pagi baru nyampe udah langsung pengen pulang aja. Rasamya waktu lambt banget berlalu. Jenuh. Seruangan rasanya sama berantakan dengan isi kepala ini, ga tau mau dibenahin dari mana dulu. Dan seperti biasa, tadi sebelum pulang saya sempetin update to do list yang ga kepegang setengah bulan-an ini. Seringnya itu efektif untuk mengawali pekan-pekan yang super crowded baik dalam keadaan 'full energy' atau dalam keadaan sebaliknya, seperti sekarang ini.

Mana lagi beberapa hari lalu audit baru saja selesai "menyapu" di sini, hasilnya? Semacam punishment yang tak enak untuk diperbincangkan. Well, hasilnya jeblok dari audit sebelumnya. Terlalu banyak yang berantakan. Setidaknya jadi tau kan hal-hal yang mesti lebih teliti lagi.

Well, bulan Maret hari ke 28 pukul 00:54.. belum bisa tidur padahal udah mengantuk. Kak Atik masih buat tugas di sebelah, biasalah anak kuliah hobi banget begadang kejar deadline tugas kampus.. :P

Selamat istirahat semua, semoga akhir pekan yang panjang di depan efektif untuk charging energi kita semua.. :)

Salam.

- we often felt unlucky, outside there more people forget how to feel lucky they forget to complain their life they busy living days to days life..-