Chocolate Covered Sesame Balls

Minggu, 27 Desember 2009

Senyum Sabit

semalam,

satu bintang, hanya satu
sabit melengkung manis
meski mendung semarak
semarak menggagalkan pertemuan syahdu
satu bintang dan lengkung sabit

bintang muncul, dan tetap menjaga jarak
awan membuyarkan sinar sabit
dan bintang tenggelam di balik awan hitam
ketika perlahan binaran sabit membentuk lengkung emasnya
siapa yang akan menghitung, dan menunggu
ketika waktu mempertemukan keduanya
biar hanya waktu

mengapa awan hitam itu bermain
mempermainkan kerinduan sang bintang
dan senyum sabit yang istimewa

bintang muncul, dan masih menjaga jarak
awan membuyarkan sinar sabit
dan bintang tenggelam di balik awan hitam
ketika perlahan binaran sabit membentuk lengkung emasnya
begitu seterusnya, begitulah seterusnya
nanti, waktu yang akan mempertemukan keduanya

desember 23, 2009


note: semalam, memang begitu keliatan sabitnya. cantik hampir tersenyum, sekalipun mendung memaksa gelap semakin gulita. satu bintang, tidak jauh, tetap menjaga jarak. aku memandang berkali-kali, hanya untuk menyenangkan hati, bersyukur bisa menikmati pemandangan indah ini. aku sekali-sekali, sengaja melihat lagi, hanya untuk memastikan, adakah awan hitam berkenan lengkung sabit itu bertemu dengan bebintang yang tetap menjaga jarak.

ketika pagi ini kutulis ini, kusisakan lengkung sabit itu dalam hati, supaya lega perjalanan esok hari, amiin ya Allah..

hanya ingin berbagi; bahwa langit malam itu selalu indah, sekalipun bulan tidak purnama J

Aku begitu mencintaimu

bulir bening itu terus saja mengalir
tak peduli pada aku yang malu
karena ketauan menangis

aku tidak tahan
tidak bisa menggambarkan
tidak kuasa menuliskan
bingung mengungkapkan
kecamuk yang membadai

mudah-mudahan ini pertarungan terakhir
harapanku begitu
aku lelah, ya Allah
(aku malu, menuliskan namaMu
pada picisan begini,
tapi inilah aku)

air mata ini masih mengalir
lagu keras stereo masih mengalun
sekedar menyangkal
bahwa aku rapuh
dan tetap harus bertahan
karena life must goes on

sesegukanku,
apa pedulimu
biarkan bulan ini lalu
dan air mata itu masih mengalir
dan kuharap hanya untuk beberapa hari tersisa
rebah hati ini tak daya
karena aku begitu mencintaimu
biarkan tahun ini lalu
dan kusemat duka ini di sana

suatu hari nanti aku ingin
kita tetap dapat tersenyum
keadaan apa pun yang memilih kita

desember 22, 2009
masih dengan air mata

Kamis, 17 Desember 2009

Hidung Istri


Hidung Istri ; Saat Duka Saat Bahagia; Abdul Wahab Muthawi

.....
“Coba perhatikan, mengapa para penumpang kereta api atau pesawat yang disatukanoleh nasib dalam sebuah perjalanan dapat saling berinteraksi dengan sopan dan halus? Mereka saling menghargai dan menjaga perasaan orang lain”

Aku mendapat jawabannya, mereka para penumpang dalam perjalanan pasti akan berakhir dan berpisah. Masing-masing akan pergi ke tujuannya sendiri. Karenanya hidup mereka muia selama perjalanan dan tidak melakukan kesalahan-kesalahan kecil antar sesama.

Jika demikian halnya, mengapa para penumpang perjalanan kehidupan ini tidka bersikap seperti itu kepada penumpang lainnya dengan sikap dan perilaku yang sopan dan saling menghargai. Meski perjalanan hidup ini terasa lama, tapi sebenarnya hidup ini sangat singkat.

“Ya.. kenapa?”

“Kenapa sebagian orang membayangkan bahwa permasalahan kehidupan sesungguhnya telah usai? Memeriksa hidung hidung mereka dan hidung orang lain, lalu menambahkan permasalahan ini pada problematika hidup orang lain dengan cara seperti ini?”

“apakah Anda punya jawaban yang memuaskan atas pertanyaan ini?”

--------

Itu adalah kutipan beberapa paragraf terakhir dari buku Abdul Wahab Muthawi, dari serial Hidung Istri. Judul serial itu memang sedikti lucu, menurutku. Mengapa harus “hidung istri”?. Ternyata di Mesir, para gadis yang hendak menikah maupun para isteri merasa minder dengan hidung mereka yang mereka anggap besar, tidak cantik, dan sebagian para calon suami atau suami tidak menyukai bentuk yang tidak indah ini. Padahal sebenarnya ini hanyalah perasaan para perempuan saja.

Abdul Wahab Muthawi, salah satu penulis ternama Mesir, juga pemimpin redaksi sekaligus pengasuh kolom surat pembaca harian Al Ahram yang terbit di Kairo, justru kemudian terinspirasi untuk menamai salah satu rubriknya dengan nama Hidung Istri.

Dalam serial Hidung Istri ini juga disisipkan salah satu kisah yang ditulis sastrawan Prancis, Jean Paul Sartre berjudul Hidung Palsu..

Masalah hidung barangkali adalah masalah yang biasa. Bahkan menurut sebagian orang mungkin sepele. Tapi efeknya luar biasa. Cuma karena “hidung”, bisa-bisa timbul penyesalan yang tidak pernah ada kesempatan utnuk memperbaikinya.

Wis sengaja hanya mengutip bagian akhir dari serial Hidung Istri ini, hanya menyebut siapa Abdul Wahab Muthawi, dam kenapa kenapa judulnya Hidung Istri.. Tidak lebih dari itu. Mudah-mudahan teman-teman yang sempat baca note ini sempat juga baca Saat Duka Saat Bahagia; Abdul Wahab Muthawi. Sekalipun buku ini terbitan tahun 1996 (di mesir, tahun 2004 di Indonesia), tapi menurut wis serial-serial yang ada di dalamnya relevan sampai kapan pun, dan terutama untuk “kita”.

Serial lainnya yang menarik juga; Dimensi Cinta Segi Empat, Yang Hilang Yang Kembali, dan tentu saja Saat Duka Saat Bahagia itu sendiri yang mewakili hampir semua serial yang ada di dalam buku ini.

Mudah-mudahan ada kesempatan :)

Naek Haji Rame-rame Yuk!!!

Assalamu’alaikum..

Hari sabtu minggu lalu, wis di undang temen untuk ikutan presentasi bisnis. Beberapa hari sebelumnya dia udah cerita-cerita juga. Ya biasalah MLM. Mulanya wis agak enggan mengiyakan untuk ikut hadir presentasi. Wis pernah gabung di beberapa MLM sebelumnya, tapi karena produknya aja. Sebenarnya iming-iming “hanya dengan 2,8 juta bisa naek haji” juga ga ngaruh ke wis karena emang ga punya duit cash sebanyak itu. Maklum lah mahasiswa :D. Tapi akhirnya wis memutuskan untuk datang juga sabtu ba’da ashar itu, wis pikir ga ada salahnya kaya’nya tau gimana cara naek haji dengan cara lebih mudah dan lebih cepat, dan halal pastinya..

MLM Haji, wis lebih enaq sebut begitu. Produknya tabungan haji. Yang punya MPM, biro travel haji yang ada di jakarta. Em, sebenarnya wis udah dapat file power pointnya, tapi akan lebih enaq n menarik kalo dengar penjelasan langsung. Wis sendiri akan segera bergabung, insyaAllah..

Setiap MLM pasti akan mengaku bahwa mereka berbeda dari yang lain. MLM itu bisnis jaringan, menjadi besar karena dikembangkan bersama-sama. Dan menjadi berbeda adalah nilai jual tersendiri bagi bisnis ini. Apakah MPM beda dengan yang lain? Sudah pasti.. J

MPM tidak janjikan bonus berlimpah. Kalo niat kita pengen naek haji aja, itu udah cukup motivasi untuk kita jalani bisnis ini. Jadi tidak ada istilah kejar setoran atau tutup poin. Bisa sesantai mungkin. Atau bisa semenggebu mungkin, tergantung dari seberapa ‘niatnya’ kita naek haji. Tapi selain bisa naek haji, ternyata kita juga bisa bantu saudara2 kita yang lain untuk sama2 naek haji, menarik kan? J
Lebih dari itu, sudah pasti, bisa untuk nambah penghasilan tak terbatas, sesuai usaha kita pastinya J

Wis ga mau berpanjang2. Temen2 kalo minat, hubungi wis ya, nti wis akan pertemukan teman2 dengan “ahlinya” n kita semua bisa tanya2 langsung ke beliau. Wis lebih online via sms; 0878-9024-1868, nomor As sementara ga pake dulu.

Terima kasih udah baca note ini.. J
Mudah2an bermanfaat..


Bertaburan Bintang

Mentari belum muncul
pekur aku, entah pada apa
air mata tak mengalir
ku kutuki hati y tak peka

Mentari blm muncul
aku memaksa jiwa utk luruh
supaya sejalan dgn niatku utk kembali

Dimanakah?
Aku tak tau
Aku hilang

Subuh selesai,
kukira smua tlah usai
Aku tengadah,
hampir hampir aku menyerah
aku tengadah, tak kusangka mataku bertemu kejora, benar2 kejora

Mentari belum muncul,
di ufuk barat aku menjaring kejora
----





fajar 16 Desember.
Note: aneh, kenapa sinar bintang itu tembus lewat jndela y biasanya b'debu. Krn tak tahan, lngsung menghambur k balkon- di langit sebelah barat, tak hanya kejora, taburan bintang menyapaku. Allahu akbar-
satu harapan pergi, y lain menanti (utk dtunaikan)..

Perjalanan Tarbiyahku; Dulu, Kini, dan Nanti...




Sudah beberapa minggu ini tidak ketemu dengan MR dan temen-temen liqo-an. Rindu? Sedikit. Mengapa tidak banyak? Tidak tau kenapa. Ini kelompok baru untukku. Beberapa waktu lalu (tidak ingat kapan persisnya) ditransfer ke kelompok lain, untuk alasan tertentu pasti, tapi aku tidak pernah tau kenapa. Mengapa tidak tanya? Sudah. Kata temen mantan liqoanku, “kita husnuzhon saja”. Ok.

Usiaku tidak muda lagi. Mulai tarbiyah sejah mulai kuliah. Waktu itu langsung masuk kelompok yang dibuat di kos-an sama kakak kelas yang juga kebetulan satu fakultas. Hingga lebih dari tiga tahun liqo-an kami berganti terus. Mulai dari ganti-tambah personel, dan ganti MR pastinya. Tapi waktu itu liqo-an cukup menyenangkan. Sekalipun ganti MR, sekalipun tambah personel, sekalipun ganti personel. Ada juga personel yang dipindahkan ke kelompok lain. Hingga saat ini sudah empat MR. Em, tapi personel yang pernah sekelompok denganku, tidak terhitung.

Dulu, kalau tidak hadir ke liqo-an, rasanya rugi besar. Rasanya ada hal berharga yang lewat. Hal berharga itu tidak semata materi yang disampaikan oleh sang MR. Tapi setiap detik yang kita lewati bersama teman-teman untuk sahaja menghadirkan hati dalam jamaah kecil yang dengannya kita berharap mendapat ridhoNya. Rasanya beruntung memiliki waktu lebh kurang dua jam seminggu itu bersama mereka. Tidak tau bagaimana menjelaskannya, tapi kalau ingat sekarang, rasanya rindu dengan liqo-an yang dulu. Rasanya hikmah-hikmah itu bertebaran siap untuk dipungut dalam setiap untai kata-kata, setiap detik terlewati.  Di sana kita berbaur karakter, dan mencoba saling menerima bahwa tidak setiap kita mendapat porsi perhatian yang sama dari MR, atau dari teman-teman yang lain. Di sana kita mencoba menerima, bahwa kita selayaknya mendapat sesuatu sesuai kadar kebutuhan kita. Ketika berlebih kita dapat bersyukur, ketika kurang semua berusaha untuk berlapang, bersabar. Masih ingat juga bagaimana keegoisan ketika “kabar-kabari”, setiap orang ingin menceritakan semua hal dalam waktu yang terbatas, dan ini jadi rubrik paling digemari setiap bulannya, sebagai indikator bahwa kita memang butuh untuk berbagi, butuh untuk didengarkan, butuh untuk mendengarkan.. J

Membagi liqo menjadi tiga tahapan, dulu-kini-nanti, akan menenmpatkan liqo masa dulu sebagai liqo yang gilang gemilang, khususnya buatku. Di kelompok yang dulu, bercampur di sana aktivis dari organisasi aneka rupa. Berbaur dengan teman-teman yang menempatkan prestasi akademis pada prioritas nomor satu. Juga ada teman-teman yang “biasa” saja, tapi sesungguhnya mereka luar biasa, sungguh luar biasa. Mereka standar dalam organisasi, tidak terlalu ketat dalam prestasi akademis, tapi umumnya sangat penurut. Mereka umumnya tidak terlalu banyak bicara kalau tidak ditanya. Mereka senang kalau bisa dapat perhatian dari MR atau temen-temen lainnya, tepi mereka malu untuk melakukan hal-hal yang menarik perhatian. Nilai kepedean mereka 50:50. Mereka butuh waktu untuk konfiden dan mulai berbagi dengan teman-teman se-liqo. Mereka punya keseharian luar biasa yang tidak nampak dari penampilan mereka yang tidak norak, malah kadang ABC. Mereka potensial, tapi tidak banyak yang tau. Tidak banyak yang tau kalau mereka juga berjuang dalam kebaikan dalam keseharian mereka yang seperti orang kebanyakan. Lembar amali mereka seringnya standar, kadang-kadang lebih baik. Kalau mereka tidak hadir liqo, itu pasti karena sakit, rumahnya terlalu jauh dan kendaraannya dipake anggota keluarga yang lain (dan memang rumahnya benar-benar jauh lho! Eg; montasik), membantu orang tua, dan sejenisnya. Melakukan seperti diminta. Mereka tidak banyak ceng cong. Luar biasa tsiqoh. Em, tapi tidak semua sich begitu, kebanyakan begitu.

Teman-teman aktivis, biasanya lebih grasah grusuh (hehe, pada umumnya seperti itu). Mereka tidak bisa diam, maunya bicara dan menyampaikan pendapatnya, menyuarakan solusi, atau sekedar lempar wacana n statemen. Mereka kritis, tapi kadang juga cerewet. Saking sibuknya dengan aktivitas, lembar amali mereka yang kemudian sering membungkam mereka. Duh, ini sisi yang ironi sebenarnya. Kalau mereka tidak datang ke liqo-an itu pasti karena rapat presidium, ada agenda fundrising, atau sekedar jaulah ke kampus orang. Pokoknya aktivis itu aktivitasnya nabrak-nabrak betol. Mereka punya keluhan mulai dari yang biasa sampai yang kronis seputar prestasi akademis mereka, tidak bisa menolak untuk memprioritaskan organisasi ketimbang kampus, sistem sks, dan sejenisnya. Kata-kata sang MR yang paling sering dilontarkan untuk mereka adalah “Bersabarlah, pertolongan Allah itu dekat. Allah pasti menolong hamba-hambanya yang menolong agamanya” dan taujih-taujih untuk mengatur waktu dengan lebih baik. Tidak tau apakah kemudian mereka benar-benar mencoba membagi waktu dengan baik, atau tetap berkutat dengan kesibukan yang melingkari mereka seperti obat nyamuk, yang membakari sedikit demi sedikit semester yang mereka lalui. Tapi mungkin, justru tekanan-tekanan itu yang menguatkan mereka untuk tetap bertahan, baik di liqo-an, maupun di organisasi. Mereka adalah tipikal yang selalu haus untuk berkeringat demi kebaikan (aku menyebutnya begitu, hehe). Panitia ini itu, demo-demo, lobi kesana-kemari, mabit, pergi pagi dan pulang sore atau mungkin malam baru ada di rumah lagi. Tapi aku yakin, perjalanan seharian seharian mereka tidak sekedar ngabisin bensin doank, insyaAllah.

Teman-teman yang mementingkan prestasi akademis, selalu punya banyak alasan ketika mereka diminta bantu ini itu di organisasi kampus. Mereka mandiri. Dalam lembar amali pun hampir selalu unggul. Mungkin diri mereka selalu diliputi semangat untuk berprestasi dalam segala hal, mendapatkan nomor kecil dalam setiap persaingan. Yang pasti, ilmu adalah motivasi terbesar mereka. Bagi mereka, waktu adalah tugas kuliah, pustaka, cari bahan di warnet, dan begadang untuk menyelesaikan tugas kelompok. Jadwal liqo’ kadang-kadang HARUS dirubah-rubah karena jadwal kampus mereka yang padat. Mereka seperti selalu berseteru secara dingin dengan temen-temen aktivis. Untuk para aktivis mereka berteriak dalam hati “untuk apa ngurusi urusan orang, urusan ndiri aja ga beres” (hoho, tentu tidak semua begini dan mungkin ini terlalu hiperbola). Dan para aktivis akan membalas dengan panas “egois! Lihatlah masih banyak amanah yang harus kita selesaikan ketimbang mengalokasikan semua waktu untuk tugas-tugas kuliah itu” (hehe, ini juga, terlalu berlebihan mungkin). Tapi pikiran-pikiran seperti itu memang pernah terlintas kan? Hayo ngaku? Hehe.

Sekalipun begitu, mereka tetap damai ketika sudah berkumpul. Rasa sayang itu tetap ada, apa lagi ketika majelis ditutup dengan doa penutup majelis dan doa rabithah. Rasanya, dalam beberapa detik itu; Aku mencintaimu karena Allah, sedihmu sedihku, sandalku sandalmu (pinjam maksudnya, hehe), kantongku kantongmu, dan sebagainya J. Tapi, dalam implimentasinya, memang begitu koq. Kalau ada yang kemudian tidak begitu, temen-temen pasti lupa, sedang futur, atau sedang terganggu dengan masalahnya sendiri yang lebih besar.

Itu hanya satu percik pelajaran dari liqo masa lalu. Masih banyak hal yang rasanya tidak habis ditulis sehari untuk kembali membangkitkan semangat tarbiyah tzatiyah masa kini yang luntur, atau sekedar mengenang dan bercermin tentang diri, dan memahami sepenggal perjalanan yang membekaskan pejaran yang amat banyak. Bercerita tentang perjalanan tarbiyah dulu, rasanya tidak ada habisnya. Kalau dulu ada yang bikin kesel, kalo di ingat sekarang malah bikin ketawa. Kalau dulu bikin marah, kalo dicerna lagi sekarang malah malu rasanya bisa marah dengan hal sepele begitu.

Tidak tahu sejak kapan, aku mulai menganggap liqo itu penting. Rugi rasanya kalau tidak hadir. Seperti ada serial yang hilang kalau tidak datang. Ada saja drama dalam tiap episodenya. Belum lagi epik dan kabar yang mengharu biru. Kalau dihitung-hitung, materinya Cuma 20 menit. Terlambat 15 menit. Tilawah 5-10 menit. Tausiah 10 menit, udah lama kali tu. Tapi kadang molor juga sampe setengah jam kalo tausiahnya ditugasi MR. Tapi kemudian banyak yang berubah, dari ku, dan dari liqoan ini. Aku yang sangat mencintai dokumentasi, tapi lupa untuk mencatat sejak kapan semuanya mulai berubah, pelan berubah. MR berganti, itu biasa. Teman-teman dipindahkan, juga biasa, tapi mulai bertanya. Teman-teman ditambah dari kelompok lain, biasa, senang. Satu persatu teman-teman lama dipindah, wah, semakin bertanya-tanya. Sisa beberapa dengan teman lama dan teman baru yang mulai akrab, mencoba menggapai-gapai suasana lama dengan acak dan tidak pasti. Hanya satu-dua teman lama, dan mereka pun mulai jarang datang karena kesibukan dan hal lain yang kita hanya boleh berhusnuzhon dengannya. Satu teman lama, banyak teman baru, banyak juga teman baru yang datang dan pergi, maka aku mulai- mulai berpikiran yang tidak-tidak. Mulai enggan, tapi tetap bertahan, tapi tidak melakukan apa-apa. Satu teman lama, teman baru yang sering tidak bisa datang, teman-teman baru yang datang silih berganti di setiap pertemuan, aku menerima, mengabur, dan pikiranku semakin picik, nauzubillah. Hingga akhirnya tinggal aku dan MR.. (teman-teman yang lain tidak datang karena berhalangan.. J). Dan tidak lama kemudian aku berganti MR..

Aku menyukai kelompok kecil, karena di dalamnya kita bisa belajar dengan lebih baik. Aku mencintai liqo ini karena hanya ini lah satu-satunya yang mampu mengikatku saat ini. Bagaimana pun sendiri itu lemah, tidak ada yang mengingatkan, tidak ada yang menguatkan. Karena itu aku tetap bertahan, karena aku ingin untuk tetap “teringat” dalam waktu yang sering aku lupa.

Beberapa pertemuan belakangan, aku tidak hadir, juga tidak ketemu teman-teman, tidak ada pertemuan. Aku merindukan liqo yang dulu, sekedar merindukan tidak membuat itu kembali, aku tau. Begitulah, kita akan merasa kehilangan ketika sesuatu telah tiada. Seperti perubahan orang kaya menjadi orang miskin, begitulah perumpamaan liqo ini. Aku tidak besyukur, tidak memelihara, dan kemudian masa-masa yang gilang gemilang itu dicabut dari diriku, dari diri kami.


Antara yakin dan tidak aku tetap melanjutkan liqo. HARUS. Aku memaksa diri ini yang mulai malas tanpa alasan yang jelas. Menenggelamkan kritik-kritik atas ketidakprofesionalan. Biarkan sekarang merakit lagi, sekalipun masa iskandar muda itu tak mungkin kembali, mudah-mudahan ada masa-masa lain yang lebih baik dari hari kemarin, untuk ku dan untuk kita semua yang “begini bentuknya” sekarang ini J amiin.


Jumat, 11 Desember 2009

Sekalipun satu bintang

satu bintang benderang
mendung menutupi pilihan pilihan
tapi aku tetap, menatap


bukan karena aku masih
tapi karena aku butuh
untuk membuatnya tetap bersinar

Jumat, 04 Desember 2009

Apa Pun Itu

Aku mual
Tapi tidak khawatir
Tidak begitu khawatir
Sedikit saja
Sudah biasa

Apa pun kabar yang akan ku ketahui nanti
Biar waktu yang membawanya
Jangan bertanya, jangan menerka
Karena bertanya, kadang tak tepat waktunya
Kadang tak tepat bahasanya,
Kadang tak tepat siapa yang menjawabnya

Biarkan waktu yang menjawabnya
Sudah terlalu biasa kalau sakit yang nanti kan terasa
Sudah begitu aku mengharapkannya, kalau itu bahagia
Sudah tidak asing saja, kalau kecewa yang kemudian mendera

Bukankah itu semua rasa yang Allah titip untuk kita
Supaya tidak tawar saja hidup ini
Supaya tidak abu-abu kelu warna hari kita
Maha Besar Allah,
Semoga Ia kuatkan hamba dengan apapun kabar takdirnya

Dari Hati

aku masih termangu
oleh hari yang berganti rupa dengan tiba-tiba
masih bingung, dengan hujan yang kadang deras
dan setelahnya matahari tak pernah mengalah
aku masih gagu untuk menjelaskan
mengapa begitu cepat musim berganti rupa
mengapa begitu mudah hati berganti warna

ketika sakit mendera
serasa waktu berjalan lama
tapi ketika maaf itu terbuka
seperti udara yang menembus
di antara celah sempit tanpa rongga

Semoga kedengkian itu benar-benar telah mencair dengan pelan
Semoga kemaafan itu menyelinap dan menyelimuti penuh hati kita
La haula wa la kuwwata illa billah...

Ya Allah,
Seandainya perasaan begini dapat bertahan selamanya
Seandainya kedamaian ini milikku selalu
tapi itu hanya pengandaian ku
tak dapat begitu

alhamdulillah
aku bisa bilang apa lagi
rasanya seperti menjadi bayi
mudah-mudahan engkau juga

bismillah...
kali ini kusebut namaMu di akhir syukurku
sebagai pertanda,
akan selalu ada namaMu di awal langkahku (insyaAllah)
allahumma amiin
---


nb; Ya Allah, ini dari hati, sekalipun tanpa air mata, sekalipun banyak yang hamba sembunyikan dalam hati dari manusia, namun Engkau dapat mambaca. Lihatlah hati ini, sirnakan segala niat jahatnya, hapuskan semua kedengkian dan kebencian yang bukan karenaMu. Gantilah ia bila tak pantas lagi tubuh ini menyandangnya.
Allahu Akbar! Dengan takbir ini kami berharap Engkau menoleh dan melihat hati yang bimbang ini

Saya Butuh Menjadi Penulis Hebat

“Bila Anda menjadikan menulis sebagai pilihan hidup, sama seperti saya, duhai... saya ingin sekali memeluk Anda sekarang!”


Jujur, itu kalimat pertama yang membuat saya hampir terloncat dari tempat duduk di depan komputer ketika pertama kali membaca sampel buku Jonru; Cara Dahsyat Jadi Penulis Hebat. Tapi saya tidak jadi loncat koq, saya ganti dengan mengerutkan kening dan nyengir kuda saja. Bukan! Bukan karena saya takut dipeluk Jonru, hehe. Soalnya saya tidak cukup bisa membayangkan seberapa besar kecintaan Jonru dengan tulis menulis dan kecintaannya terhadap siapa saja yang punya minat menulis, siapa saja yang hampir selalu menemukan kesulitan dalam menulis.



Sejujurnya, saya ingin sekali memiliki buku sakti menulis versi Jonru ini. Sebelumnya saya pernah baca dua buku yang membahas teknik menulis dan menembus media. Untuk aktivitas menulis, membaca tanpa mempraktekkan sama dengan omong kosong, nonsense! Tapi Cara Dahsyat Jadi Penulis Hebat (untuk seterusnya saya sebut CDJPH saja ya..! J)sepertinya akan berbeda. Akan memberikan efek berbeda untuk saya, saya yakin itu.

Sampelnya yang cuma tiga bab itu cukup bikin penasaran. Subbabnya mungkin sengaja disisipkan loncat-loncat oleh Jonru. Dan saya semakin kecele ketika sampai di bab terakhir sampel itu, bab tiga; poin kesebelas; racun nomor dua.. ternyata sampai di situ saja versi gratisnya. Mungkin kalau buku itu gratis semua, saya tidak akan jadi ikutan lomba Saya Ingin Jadi Penulis Hebat ini. Kata Jonru, beginilah salah satu cara mendapatkan buku mandraguna ini. Sekalipun dengan membeli pun sebenarnya tidak akan rugi, malah untung berkali lipat, saya setuju dengan Jonru.

Bagaimana tidak untung, karena dengan Rp. 49.000; saja selain dapat e-book lengkap masih dikantongi bonus lainnya yang super duper juga hebatnya. Kita hanya perlu mengeluarkan Rp. 49.000; tapi bisa dapat voucher Rp. 200.000; dari SMO (Sekolah Menulis Online). Ini adalah nilai voucher terbesar yang pernah diberikan SMO, dan belum pernah diberikan oleh organisasi penulisan lain baik yang online maupun yang offline. Luar biasa kan??!

Oya, mungkin Anda bertanya-tanya “apa saja isi voucher Rp. 200.000; itu?”. Apalagi sekolah menulisnya itu online, dunia maya, biasanya banyak penipuan. Kalau Anda masih ragu dengan SMO, silahkan kunjungi situsnya di www.SekolahMenulisOnline.com. Di situs itu Anda bisa dapat info lengkapnya. Bisa dapat brosurnya juga, seperti yang saya sudah download. Sepertinya belum ada sekolah menulis online yang begitu. Saya tidak perlu berpanjang-panjang memuji, lebih baik Anda sendiri yng merasakannya.. J

Sekedar info untuk Anda, dengan voucher itu Anda bisa dapat modul eksklusif gratis dari SMO, langsung terdaftar ke Kelas SMO Free Trial, mendapat bimbingan karir di bidang penulisan dan ini berlaku seumur hidup. Catet! Seumur hidup! Dan masih banyak penawaran dan fasilitas lain menyertai, pasti. Ini benar-benar bonus yang memberi Anda bensin cadangan untuk membakar semangat menulis Anda, tidak hanya dalam hitungan bulan, tapi SELAMANYA!

Satu lagi, mudah-mudahan Anda benar-benar beruntung karena penawaran fantastis ini hanya berlaku untuk pembelian e-book. Iya, benar! E-book CDJPH ini sedang dipersiapkan versi cetaknya. Dan penawaran e-book berbonus voucher ini akan ditutup sewaktu-waktu jika buku cetak CDJPH diterbitkan. Makanya, jadilah orang yang beruntung itu. Mau kan? Kalau begitu langsung saja ke http://www.penulishebat.com untuk melihat tata cara pemesanannya.

Saya Juga Ingin Jadi Penulis Hebat

Pertanyaannya adalah, mengapa saya juga ingin menjadi penulis hebat? Saya tidak tau bagaimana harus menguraikan maksud saya ini. Tapi yang pasti saya luar biasa takjub dengan efek yang timbul dari novel-novel luar biasa karya penulis-penulis hebat, seperti Andrea Hirata, Helvi Tiana Rosa, Asma Nadia, Gola Gong, dan juga penulis-penulis non fiksi seperti Annis Matta, Muhammad Fauzil Adhim, dan masih banyak lagi. Menurut saya mereka termasuk beberapa yang beruntung, bukan hanya karena uang begitu mudah mengalir karena buku-buku mereka dicetak dan dicetak lagi. Tapi juga karena mereka dapat merasa sedikit lega, telah menuntaskan satu amanah, yaitu memberi manfaat. Siapa yang tidak mau jadi orang-orang yang beruntung seperti mereka. Dan menjadi beruntung adalah pilihan, seperti banyak keputusan yang kita buat dalam kehidupan kita. Kalau kita ingin menjadi penulis yang beruntung, maka kita harus terlebih dahulu menjadi penulis hebat, baru kemudian kita menjadi penulis sukses, seperti Andrea Hirata, Dewi Lestari, Habiburrahman El Shirazi, dan masih banyak lagi (atau terserah siapa penulis hebat versi Anda J).

Saya sering merasa “sakit hati” alias cemburu, kalau ada novel-novel baru yang jadi best seller. Seperti ketika tetralogi Andrea Hirata terbit, di satu sisi saya merasa semakin minder, karena tidak kunjung menyelesaikan apa yang saya sudah tulis. Juga ketika memngetahui Fahri Asiza yang dapat menyelesaikan sebuah novel dalam empat hari saja; koq bisa ya??; saya jadi semakin down. Padahal saya tidak “sekelas” dengan mereka. Tapi saya kira, tidak ada salahnya merasa “sekelas”, supaya lebih cepat mejadi hebat seperti mereka.. amiin.

Dan saya yakin, afirmasi-afirmasi seperti di atas (“saya sekelas dengan Andrea Hirata & Fachri Asiza”) sebenarnya penting untuk membuka writer block kita sehingga bisa berlepas dari perasaan minder, gampang menyerah, dan merasa berat untuk mulai menulis. Saya menemukan poin-poin penting dalam daftar isi buku CDJPH Jonru seperti; Teh Power of Konsisiten, Penyakit Minderan dan Cara Mengatasinya, Empat Fakta Luar Biasa Mengenai Pikiran Anda, Cara Mendapatkan APAPUN Keinginan Anda, Ingin Menulis tapi Tak Ada Mood, dan masih banyak lagi. Dan saya yakin, poin-poin yang sudah saya sebutkan di atas juga termasuk masalah kita semua.

Saya percaya dengan kata Jonru dalam salah satu poin di dalam CDJPH; Setiap Penulis itu Unik. Jadi tidak seharusnya saya minder cuma karena tulisan-tulisan saya belum pernah ditelurkan penerbit. Toh kita bisa menjadi penerbit untuk diri kita sendiri bukan? Dengan ngeblog misalnya. Saya sendiri ngeblog di blogger. Isinya tidak semua tulisan saya, banyak juga yang saya sadur dari sumber lain, tapi saya tetap menyertakan sumbernya koq. Karena saya jarang menulis halamannya pun tidak banyak. Kalau sempat mampir untuk menyeruput puisi-puisi saya, kunjungi saya di http://www.wisreini.blogspot.com ya J.

Mulanya, saya sendiri sebenarnya tidak begitu ingin menjadi penulis. Maksudnya, kalau saya menulis ya itu karena memang sedang ingin menulis saja. Kalau menurut Jonru, maka saya termasuk dalam kategori penulis hebat yang menjadikan menulis sebagai hobi belaka. Menulis, buat saya, cara paling sederhana untuk menjadi ekspresif. Tapi menulis, menurut saya, juga bisa menjadi cara luar biasa untuk melepaskan beban yang sulit dibagi dengan orang lain. Maka kemudian saya juga masuk kategori yang lain; penulis yang hanya menulis untuk self therapy saja. Saya menikmati keduanya. Saya sudah jalani sejak SMP, tapi saya baru sadar kalau menulis adalah kebutuhan ketika saya kuliah.

Bagi saya, tidak menulis sama seperti tidak minum. Saya pernah kebelet banget pengen menulis, tapi laptop kala itu lagi diservis. Di waktu yang lain, juga pernah tidak bisa menelurkan satu patah kata pun, padahal waktu itu lagi butuh banget untuk share masalah-masalah saya, rasanya seperti lama tidak BAB! Maka dari itu saya HARUS baca Cara Dahsyat Jadi Penulis Hebat sampai selesai! Supaya saya lancar menulis setiap hari.

Di folder oret-oret saya, ada tiga belas janin cerita (dua diantaranya novel), mudah-mudahan nanti bisa terlahir semua dengan sempurna. Baru dua yang benar-benar jadi, dan belum satu pun yang saya kirimkan. Jangan tanya kenapa. Dan karena itu pula maka saya dalam keadaan yang sangat terdesak untuk segera menuntaskan CDJPH milik Jonru.

Saya mulai ingin menulis fiktif setelah ikut pelatihan salah satu organisasi kepenulisan. Waktu itu banyak latihannya. Tapi yang paling berkesan buat saya ketika kami diminta “memelintir” kisah Malin Kundang. Pelintiran cerita Malin Kundang yang belum selesai sempat saya upload di blog saya untuk dikomentari. Tapi waktu itu tidak ada yang komentari L. Setelah pelatihan itu berakhir, maka berakhir pulalah aktivitas saya menulis fiktif. Seterusnya, saya hanya menulis diari, dan kadang-kadang puisi. Oya, for your info; saat ini saya sudah punya tiga buku kumpulan puisi saya sendiri. Mungkin kalau puisi-puisi semasa kuliah juga dibukukan semuanya ada empat buku.  Mohon maaf, saya sedikit narsis.. J

Mulai menulis puisi ketika SMP. Saya masih ingat, setiap jam pelajaran bahasa Indonesia adalah saat-saat paling boring buat teman-teman sekelas, dan dapat tugas membuat puisi maka akan bertambah-tambah rasa bosan itu. Tapi sebaliknya, hati saya selalu bersorak girang. Saya bangga sekali waktu puisi saya dibaca di depan kelas oleh ibu guru. Sejak saat itu saya percaya saya bisa menulis puisi. Dan mengalirlah puisi-puisi itu sampai-sampai saya sendiri kadang bingung maknanya apa. Buku-buku itu saya simpa rapi karena dokumentasi itu penting. Setiap buku bisa menjelaskan saya siapa pada masa apa. Setiap buku mencatat perubahan yang terjadi pada diri saya, seperti membaca diri sendiri jadinya.. J

Dan sekarang, dengan tetap menulis diari, saya berharap satu, lima, atau sepuluh tahun kedepan dapat kembali membaca diari ini dan memetik banyak pelajaran berharga. Yah,s ekalian menulis perjalanan hidup sendiri J. Kalau kita beruntung, mungkin orang lain akan menulis tentang kehidupan kita suatu hari nanti, tapi kalau tidak? Saya kira belum terlambat untuk menulis apa yang kita alami sehari-hari.. bukankah ini yang kita temukan dalam Tetralogi milik Andrea Hirata?? Tapi maaf ya Bang Andrea, saya ga nyontek koq, ini ide sudah ada sebelum tetralogi itu terbit... J

Untuk terus menginspirasi diri tetap menulis, saya sengaja add Jonru di facebook saya, sekalian menjadi fans di fanpage-nya http://www.facebook.com/penulishebat. Saya ikuti juga menjadi penulis hebat di twitter di http://www.twitter.com/penulishebat sekalipun saya sendiri belum begitu mengerti cara memanfaatkan twitter dengan benar J.

Karena saya butuh menulis dan menulis akan terus menjadi bagian hidup saya, maka menjadi penulis hebat adalah KEHARUSAN bagi saya. “Aku ingin jadi penulis hebat” kukatakan ini pada dunia, karena untuk terus hidup aku harus terus menulis.